Saturday, December 1, 2012

ujungkelingking - Dalam Al-Qur'an, surah Al-Anfaal ayat 65, Allah subhanahu wa ta'alaa berfirman:


يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ

 "Hai, Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada duapuluh orang yang sabar diantara kami, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (Al-Anfaal: 65)

Ini menarik.

Secara ringkas, ayat di atas menyebut bahwa 20 orang yang sabar dapat mengalahkan 200 orang kafir, dan 100 orang yang sabar mampu mengalahkan 1.000 orang kafir. Secara matematis bisa kita katakan perbandingan untuk keduanya adalah 1:10.

Nah, pertanyaannya adalah, kenapa Al-Qur'an tidak langsung saja menyebut "satu orang yang sabar bisa mengalahkan sepuluh orang kafir"?

***

Jawabannya tentu rasional. Karena memang cukup mustahil bila satu orang melawan sepuluh orang sekaligus. Akan tetapi -ini yang tadi saya katakan menarik- menjadi bukan mustahil jika 20 orang bisa mengalahkan 200 orang. Kuncinya ada pada, team-work.

Satu orang bisa saja kewalahan melawan sepuluh orang. Namun dengan kerja-sama yang solid, strategi yang apik dari hanya beberapa orang akan mampu mengalahkan jumlah yang jauh lebih besar. Sejarah banyak berbicara tentang ini.

Dengan kerja-sama banyak hal yang tidak mungkin dilakukan menjadi mungkin saja terjadi. Sama seperti filosofi sapu lidi, dengan bekerja dalam tim, kelemahan bisa menjadi kekuatan yang diperhitungkan.

Dalam konteks makro, kerja-sama ini bisa diartikan dengan banyak hal. Dalam kehidupan bernegara misalnya, kerja-sama bisa dimaknai sebagai hubungan yang terintegrasi antara pemimpin, pemegang kekuasaan, penasehat (ulama), dan rakyat biasa. Dalam hal pekerjaan, bekerja-sama berarti saling melengkapi antara atasan, operator dan sesama rekan kerja.

Namun, yang tetap penting untuk digaris bawahi sebagaimana judul tulisan ini bahwa kerja-sama itu haruslah dalam hal yang bersifat kebaikan.

"... Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya." (Al-Maaidah: 2)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, December 01, 2012

Thursday, November 29, 2012

ujungkelingking - Awalnya tidak banyak yang tahu tentang novel "The Da Vinci Code" yang ditulis oleh Dan Brown -yang kemudian diadaptasi ke layar lebar dengan judul yang sama. Setelah Paus Vatikan mengecam dan melarang beredarnya novel dan film tersebut, segera saja novel tersebut menjadi best seller!

"Innocence Of Mosleem", tiba-tiba saja menjadi film paling banyak dilihat setelah muncul gugatan dan reaksi keras dari banyak kalangan Muslim dunia.

Dan tentu masih banyak lagi contoh dari sesuatu yang pada awalnya orang tidak tertarik untuk tahu, namun ketika muncul larangan atau gugatan justru kemudian menyebabkan ketertarikan terhadap hal tersebut meninggi.

Asal mula istilah "streisand effect"

Adalah Barbara Joan Streisand (Barbara Streisand), seorang selebriti asal New York yang melayangkan gugatan terhadap Kenneth Adelman, fotografer yang dituduh telah memotret rumahnya dari udara, lalu mengunggahnya ke situs internet tanpa seijin dirinya. Barbara Streisand menganggap apa yang dilakukan Kenneth Adelman adalah melanggar privasinya. Tidak tanggung-tanggung, ia menuntut sekitar 52 juta dolar!

Meski pada akhirnya pihak pengadilan tidak mengabulkan tuntutannya, namun publik sudah kadung penasaran dengan foto yang digugat tersebut. Padahal sebelumnya tidak banyak orang yang tertarik untuk melihat seperti apa rumah Barbara Streisand, namun setelah kasus gugatannya masuk pemberitaan di media, dalam sekejab ribuan orang mengunduh gambarnya.

Sumber gambar: Google

Dari sinilah kemudian istilah "streisand effect" berkembang. Istilah untuk menyebut tentang rasa penasaran dan keingin-tahuan atas sesuatu yang dilarang.

Semakin dilarang, semakin dicari

Jika kita diberi lima buah kado yang boleh dibuka sekarang dan satu kado yang baru boleh dibuka 2 hari lagi, tentu pikiran kita akan terpusat pada satu kado yang tidak boleh langsung dibuka itu.


Rasa keingin-tahuan kita menjadi besar justru karena ada larangan tersebut.

Streisand Effect inilah yang dahulu menimpa Adam alaihissalaam sehingga harus diusir dari surga dan diturunkan ke bumi.

Sifat dasar manusia: ingin tahu

Ini adalah sifat alamiah dan manusiawi sehingga tidak mungkin bisa dihilangkan. Pada dasarnya, setiap kita memiliki sifat ini, hanya berbeda kadarnya pada masing-masing person: (1) ada yang sangat kuat sehingga dirasa perlu melakukan pelanggaran, dan; (2) ada pula yang masih dalam taraf biasa saja sehingga "kalau tidak diberi tahu ya sudah".

Dalam kisah Adam alaihissalaam, sebenarnya Adam masih masuk golongan yang kedua. Namun Syaithan berhasil menipu dan membujuknya sehingga ia berani melanggar larangan Allah (lihat Al-Baqaraah: 36).

Lalu bagaimana sikap kita ketika sifat ini menimpa kita?

Jawabannya tentu kembali kepada penilaian kita masing-masing. Apakah sifatnya agama (baca: tauqifiyah) atau hanya keduniaan saja? Apakah hal tersebut memang sangat penting sehingga kita harus tahu meski itu harus menabrak hak-hak orang lain dan etika dalam agama? Atau apakah jika kita tidak tahu maka akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar? Allah menganugerahkan kepada kita -manusia- akal, yang ketika semakin dewasa maka seharusnya semakin berpikir, semakin menimbang dan (mungkin) semakin bisa mengukur resikonya.


*dari beberapa sumber
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, November 29, 2012

Saturday, November 24, 2012

ujungkelingking - KH. Agus Ali Mashuri, seorang ulama' yang juga pengasuh di Pesantren Bumi Sholawat -kebetulan pesantren ini dekat dengan tempat tinggal saya- pernah menulis di tweetnya begini, "Jangan sekali-kali merasa malu memberi walaupun sedikit, sebab tidak memberi pasti lebih sedikit nilainya".

Dok. Pribadi

Saya sangat tertarik dengan kata-kata tersebut, karena bagi saya kata-kata tersebut dapat memotivasi untuk lebih sering memberi (baca: bersedekah), meski dalam jumlah yang tidak seberapa. Namun tentu saja, memberi lebih banyak akan jauh lebih banyak nilai (pahalanya).
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) orang-orang yang menfkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulirnya seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqaraah:261)

Banyak yang menulis tentang keajaiban sedekah. Bahwa setiap sedekah itu akan dibalas hingga 700 kali lipat! Atau minimal 10 kali lipat berdasarkan keumuman ayat di bawah ini;
Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, dan barang siapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Al-An'aam:160)

Inilah janji Allah. Dan ketika Allah sudah berjanji, maka hal itu hakikatnya bukanlah janji melainkan ketetapan-Nya. Dan segala ketetapan-Nya pastilah akan terjadi.

Nah, fakta menariknya adalah bahwa Allah tidak pernah butuh terhadap amal baik atau sedekah kita. Karena itulah setiap kali kita bersedekah, maka sedekah itu akan langsung dikembalikan kepada kita dengan lebih banyak dan segera! Jika kita bersedekah Rp.10.000,- misalnya, maka uang itu akan dikembalikan kepada kita dengan jumlah minimal Rp.100.000,-. Ini minimal lho, dan ini bisa dibuktikan!

Namun yang harus diingat adalah bahwa pengembalian Allah itu tidak selalu berbentuk uang. Pengembalian dari Allah itu bisa saja berupa benda, hadiah dari seseorang, atau keselamatan. Misalnya, biaya untuk operasi patah tulang karena  kecelakaan motor adalah sekitar satu juta rupiah. Namun karena kita pagi hari tadi sempat bersedekah seratus ribu, maka Allah memberi pengembalian berupa diselamatkan dari kecelakaan motor sehingga kita tidak jadi mengeluarkan uang untuk operasi.

Memang, segala yang baik perlu dipaksakan pada awalnya. Butuh latihan. Apalagi ketika kita merasa bahwa uang yang ada pada kita tinggal sedikit, sehingga bersedekah meski cuma beberapa ribu akan terasa sangat berat.


Lalu, bagaimana mensiasatinya?

Islam, menilai lebih untuk kontinuitas. Hal yang remeh namun istiqomah lebih dihargai daripada hal yang besar namun cuma "sekali pakai".

Jadi seperti ungkapan yang saya kutip diatas, mulailah bersedekah setiap hari meski seribu atau dua ribu rupiah. Tak peduli kepada siapa, pengemis atau pengamen, anak jalanan atau penjaga perlintasan kereta api. Tidak peduli akan digunakan untuk apa uang tersebut, jangan sok ikut-ikutan mengatur rejeki orang. Ada Allah yang Maha Mengatur. Maksudnya begini, jika memang uang pemberian kita itu adalah merupakan rejeki bagi orang tersebut, maka uang itu akan bermanfaat bagi dia. Namun, jika uang itu bukanlah rejeki dia, maka akan ada saja cara uang itu berpindah darinya tanpa ada nilai pahala dan manfaatnya.

Dan jangan pikirkan uang itu lagi. Ini definisi ikhlas, menurut saya. Tidak akan terasa berat jadinya.

Yang berat itu hanya jika kita tidak ikhlas.

Setelah itu, tunggulah pengembalian dari Allah. Jika Anda diberi banyak, maka lebih banyaklah lagi dalam memberi. Itu definisi syukur.

Dan selalulah ingat bahwa pengembalian yang paling berguna bagi kita adalah pengembalian berupa kesehatan. Karena saat kita sakit, harta yang banyakpun sering tak banyak membantu.

Bersegeralah dalam bersedekah. Karena bala' bencana itu tidak pernah bisa mendahului sedekah. (Hadits Rasulullah)

Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, November 24, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!