Saturday, July 14, 2012

ujungkelingking - Lagi, kita disuguhi berita tentang penangkapan pegawai pajak atas kasus suap (kompas.com). Hal ini tentu menambah panjang rangkaian gerbong kasus di tubuh DJP, yang mau tidak mau berimbas kepada masyarakat (baca: Wajib Pajak). Akhirnya tidak sedikit dari kalangan masyarakat luas yang menjadi berat untuk membayar kewajiban pajaknya. Kebanyakan mereka berpikir begini, “Buat apa kita repot-repot membayar pajak, bila uangnya kemudian dimakan oleh pegawai pajak dan bukan untuk kepentingan negara?” atau “Apa sih untungnya membayar pajak, toh kita tidak merasakan manfa’atnya?”

Maka ini kemudian menjadi kewenangan DJP untuk menjelaskan kepada masyarakat luas. Memang, dalam definisinya pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam kalimat yang dicetak tebal di atas jelas bahwa hasil dari pembayaran pajak kita adalah bukan diperuntukkan untuk kita -secara personal. Akan tetapi hasil tersebut bisa dinikmati secara bersama-sama. Seperti misalnya pembangunan gedung pelayanan publik, jalan raya, dsb. Jadi bila ada pertanyaan, “apa untungnya membayar pajak?” Jawabannya, kita hanya akan dianggap sebagai Wajib Pajak Patuh (hak hak hak…)

Kalau pertanyaannya adalah tentang uang negara yang dimakan oleh pegawai pajak, tentu ungkapan ini kurang tepat. Karena sebenarnya yang dimakan oleh pegawai pajak tersebut bukanlah “uang negara”, melainkan “uang yang seharusnya milik negara”. Lah sami mawon!

Melihat kejadiannya secara kronologis mungkin benar anggapan umum bahwa adanya praktek suap ini adalah tidak lepas dari polah tingkah-tingkah laku Wajib Pajak sendiri. Misalnya saja, karena tidak pernah membayar pajak, lalu setelah dilakukan penghitungan, pokok yang seharusnya dibayar ditambah dengan sanksi -dan sebagainya- maka diperolehlah angka yang luar biasa fantastis. Logikanya, kalau membayar yang menjadi kewajibannya saja tidak mau, apalagi ini: membayar kewajiban plus denda?

Maka ditempuhlah “jalan tengah”. Diminta-lah kepada pegawai pajak tersebut untuk “merevisi” laporan pajak Wajib Pajak tersebut. Sehingga, yang seharusnya dibayar 100%, cukup dibayar 30% saja. Dan sebagai ucapan terima-kasih dikirimlah sebuah “kardus indomie” ke rumah…

Lalu kenapa praktek yang sesungguhnya sudah berlangsung sejak tahun Gajah ini baru terendus (sebagian) sekarang? Jawabannya karena mereka (pegawai pajak) ternyata punya “kewenangan” merahasiakan hubungan mereka dengan Wajib Pajak.

Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 pasal 34 ayat (1) tertulis setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam penjelasan ayat disebutkan setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:

  1. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;

  2. data yang diperoleh dalam rangka petaksanaan pemeriksaan;

  3. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;

  4. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.
Nah, sebenarnya aturan dalam pasal ini diperuntukkan kepada Wajib Pajak untuk melindungi data-data mereka dari kebocoran yang takutnya disalah-gunakan oleh pihak lain. Namun bagaimana bila justru aturan ini dipakai oleh pegawai pajak sendiri untuk menutupi kecurangan yang dilakukannya?
Agaknya DJP perlu mereview kembali pasal per-pasalnya. 

# Berdo'a untuk Indonesia yang lebih bersih, bismillah...
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, July 14, 2012

Wednesday, July 11, 2012

ujungkelingking - Hari ini seorang teman kerja saya membeberkan rahasianya. Ya, memang, dia mendengarnya dari sebuah acara di televisi yang dipandu oleh seorang Ustadz kawakan, tapi karena saya sendiri tak pernah menonton acara tersebut, jadi bisa dikatakan bahwa teman saya itulah yang memberitahu saya. Apalagi teman saya tersebut sudah melakukannya, jauh sebelum dia mendengar ceramah Ustadz tersebut. Dan semua cita-citanya terpenuhi!

Begini caranya, (saya rumuskan dalam 3T!):

[1] Tulis!

Ya, tulis cita-cita Anda pada selembar kertas. Tulis semuanya! Dari yang jangka pendek sampai yang jangka panjang. Dari yang paling mungkin sampai yang paling tidak mungkin.
Misalnya; ingin punya rumah, lebih dari satu; ingin menjadi pengusaha sukses; ingin menjadi Novelis best-seller, dsb.

[2] Tebus!

Maksudnya adalah bahwa Anda akan "menebus" cita-cita di atas dengan beberapa syarat yang Anda tentukan sendiri. Tentu akan lebih mengena bila syarat yang Anda tetapkan adalah amalan ibadah yang secara konsisten harus Anda kerjakan.
Misalnya; sholat 5 waktu tidak boleh bolong; memperbanyak sholat malam; memperbanyak puasa Senin-Kamis, dsb.

Maka, semakin tinggi cita-cita Anda, tentunya semakin banyak dan besar syarat (baca: amalan) yang harus Anda tetapkan.

Jadi, bila pada poin yang pertama Anda beri judul "Saya ingin...", maka pada poin kedua ini Anda bisa beri judul "Saya akan..."

[3] Tempel!

Tempel lembaran tersebut di tempat yang tertutup (agar tidak tampak oleh orang lain), tapi sering terlihat oleh Anda sendiri.
Misalnya; di pintu lemari sebelah dalam, dsb.

Penjelasannya adalah, bahwa dengan seringnya kita melihat dan membaca tulisan tersebut, itu sama dengan do'a!

Wallahu a'lam.

***

note: buat Kang Afnan, matur nuwun yow atas sharing-nya, semoga bernilai ibadah. Amin.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, July 11, 2012

Tuesday, July 10, 2012

ujungkelingking - Kemarin, saat pulang kerja, saya dikejutkan dengan “laporan” istri saya yang mengatakan bahwa anak kami yang pertama mengalami panas. Ketika di-term (termometer) hasilnya cukup mencengangkan, 39 derajat, dan masih bergerak naik!

Hilang sudah capek saya, berganti dengan kecemasan dan kepanikan. Maklum, anak kami ini punya riwayat kejang. Istilah medis biasa menyebutnya sebagai demam kejang, yaitu kondisi dimana suhu tubuh terlalu tinggi sehingga sampai menyebabkan tubuh menggigil. Kondisi menggigil inilah yang dinamakan kejang. Sebenarnya kami punya simpanan paracetamol, namun karena sudah terlalu lama disimpan, dengan tempat penyimpanan yang kurang baik, saya menjadi ragu untuk memberikannya kepada anak kami.

Dan karena tak ingin kejadian yang sama terulang kembali, saya langsung membawa anak kami ke klinik terdekat. Fokusnya adalah agar suhu tubuh anak saya harus turun dulu. Biasanya perawat akan memberikan obat yang dimasukkan lewat bawah (dubur). Namun, saat di-term oleh perawat suhu tubuh anak kami “hanya” berada di angka 37 koma sekian.

Atas dasar itulah, perawat kemudian hanya memberikan obat berupa puyer dan antibiotik. Dengan catatan, bila sampai tengah malam panasnya tak juga turun harus dibawa kembali ke klinik untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Akhirnya kami pun pulang.

Puyer yang dari klinik langsung kami minumkan, kemudian kami biarkan anak kami beristirahat. Memang, setelah meminum puyer tersebut suhu anak kami menunjukkan penurunan. Kami sedikit merasa lega.
Namun, tengah malam istri membangunkan saya. Panasnya masih ada, meski tak setinggi sore tadi. Obat pun diminumkan kembali, sambil dilakukan kompres dengan air hangat. Kompres ini biasa dilakukan di dahi, leher, atau pada lipatan siku dan lutut. Atau bisa juga di atas kepalanya. Yang terakhir ini sih inisiatif saya sendiri. Intinya adalah memberikan informasi kepada otak bahwa terjadi peningkatan suhu tubuh, yang tujuannya agar otak kemudian meresponnya dengan menurunkan suhu tubuh.

Malam tadi, tidur saya benar-benar tidak nyenyak. Hampir tiap jam saya dan istri terbangun demi mengecek perkembangan keadaan anak kami. Syukurlah, meski masih ada sisa-sisa panas, tapi gelagatnya menunjukkan penurunan. Kami masih tetap melakukan kompres.

Bila Anda pernah memiliki balita, apalagi bila Anda jauh dari orangtua dan mertua, maka Anda bisa merasakan apa yang kami rasakan. Sampai-sampai ada yang bilang bahwa lebih baik kita (orangtua) saja yang sakit, asal si kecil tidak. Padahal bila mau mengakui, dua-duanya toh sama-sama nggak enak, hehehe...

Pagi ini saat saya hendak berangkat kerja, kondisi anak kami sudah hangat dan dia sudah bisa berceloteh seperti biasanya.

Cepat sembuh, ya Nak!

________

nb: baru saja saya mendapat SMS dari istri, mengabarkan bahwa gigi anak kami sebelah kanan-belakang-atas dan kanan-belakang-bawah, tumbuh. Jadi munculnya berbarengan… 

Hehehe...

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, July 10, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!