Monday, July 9, 2012

ujungkelingking - Karena ada suatu kepentingan yang tidak biasanya, hari ini saya berangkat ke tempat kerja tidak dengan menggunakan motor seperti biasanya, akan tetapi saya naik bus kota. Tepatnya Bus "Hijau" jurusan Mojokerto-Surabaya.

Apakah ini merupakan pengalaman baru bagi saya? Tidak juga. Dulu, ketika masih berstatus pelajar saya setiap hari menggunakan angkutan publik macam ini. Saya baru tidak lagi menggunakannya ketika saya sudah bekerja dan memiliki motor sendiri sampai sekarang, saat saya sudah memiliki dua orang putra.

Lalu, apa yang baru di sini?

Sebenarnya, memang, ada hal-hal baru yang saya dapatkan ketika saya naik bus kota pagi ini. Yang sederhana saja, saya bisa mengamati dengan detil bangunan-bangunan atau kantor-kantor, yang itu tidak bisa saya lakukan ketika saya harus berkonsentrasi dengan kemacetan di jalan raya.

Lalu apa lagi?

Sudut pandang! Ya, saya menemukan sudut pandang baru dalam melihat siapa saya, atau bagaimana orang memandang saya secara umum.

Begini, saat saya naik bus kota, saya tentu melihat banyak pengendara-pengendara motor yang berseliweran di dekat bus yang saya tumpangi. Saya kemudian membayangkan bahwa saya adalah salah satu diantara pengendara-pengendara tersebut dan berada di tengah-tengah. Maka saya pun tahu bagaimana orang menilai saya.

Selama ini saya beranggapan -misalnya saja- menyalip kendaraan lain dari sisi sebelah kiri atau memotong di depan kendaraan-kendaraan besar adalah hal yang lumrah dan wajar. Tapi saya baru mengetahui bahwa dari sudut pandang pengemudi bus dan penumpang yang lain bahwa hal semacam itu adalah hal yang tolol. Bila saya menganggap bahwa dapat menyalip kendaraan besar adalah suatu hal yang hebat, maka sebenarnya hal itu adalah hal yang konyol. Toh kalau pengemudi kendaraan besar tersebut tak dapat mengendalikan kendaraannya, yang hancur-lebur ya saya sendiri, si pengendara motor.

Tapi saya yang pengendara motor berkilah, “Mau bagaimana lagi? Kemacetan terus terjadi di sepanjang perjalanan, apalagi pada jam-jam sibuk. Sementara saya dituntut untuk tidak telat masuk kerja? Jadi, itulah yang saya lakukan, bermanuver.”

Saya yang berada di dalam bus menjawab, “Terjebak macet ketika jam-jam kerja memang suatu hal yang tak terelakkan. Tapi orang yang bijak akan memilih berangkat lebih pagi untuk menghindari hal tersebut. Berangkat lebih pagi, perjalanan lebih santai dan aman, dan tidak telat masuk kantor.”

Lagi-lagi saya yang pengendara motor membalas, “Bagaimana mungkin saya berangkat lebih pagi kalau bangun saja sudah siang?”

Saya yang di dalam bus menjawab, “Semua tergantung kebiasaan. Kenapa tidak mencoba tidur lebih sore sehingga bangun lebih dini dan berangkat kerja lebih pagi?”

Akhirnya, saya yang pengendara motor tercenung. Benar sekali. Semua tergantung bagaimana cara kita me-manage waktu. Selama ini saya memang betah berlama-lama nonton tivi sampai malam. Akibatnya sholat Shubuh-pun kerap ketinggalan. Padahal, bangun dan mandi lebih pagi juga lebih sehat, kan?
Ah, saya jadi menyadari kebodohan saya selama ini. Bercepat-cepat di jalan raya dengan resiko yang tidak kecil, sementara ada cara lain yang lebih aman dan sehat? Ya, ya… mulai besok saya akan mencoba cara baru ini. Belajar lebih mengendalikan waktu dan bukannya dikejar-kejar waktu.

Namun, sebelum pergi, saya yang pengendara motor tersenyum setengah mengejek kepada saya yang di dalam bus sambil berkata, “Emang bisa???”

Hahaha...
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, July 09, 2012

Thursday, July 5, 2012

ujungkelingking - Dalam beberapa “jengkal” lagi seluruh umat Islam di dunia akan memasuki bulan suci penuh berkah. Bulan Ramadlan, namanya.

Dan sudah jamak terjadi bahwa penetuan awal Ramadlan dan atau awal Syawal rentan terjadi perbedaan. Biasanya, bila penentuan awal Ramadlannya berbeda maka lebarannya bisa bersamaan. Tapi jika awal puasanya bersamaan, maka sholat ‘Id kita bisa berbeda.

Tentu, kita sering mendengar kalimat bahwa perbedaan adalah rahmat. Tapi benarkah demikian jika yang terjadi kemudian adalah perselisihan? Tentu saja mereka yang berada di atas bisa dengan legowo mengatakan “Kami menghormati setiap perbedaan. Silahkan saja berbeda dengan kami, toh semua ada dasarnya, jadi tak masalah memilih yang manapun”. Tapi bagi kami-kami yang berada di bawah -yang notabene lebih banyak yang awam (baca: bodoh) masalah-masalah ikhtilaf seperti ini hanya akan melahirkan sekat-sekat, bahkan di kampung kami sendiri.

Orang-orang yang pernah saya tanyai umumnya berpendapat (dengan bahasa saya sendiri) bahwa “satu (orang pintar) itu bagus, banyak itu bencana”. Jadi keinget film-nya The Avenger, dimana banyak jagoan bersatu malah masing-masing menganggap yang lain tak lebih hebat dari dirinya…

Banyak yang pintar (atau mengaku pintar), lalu akhirnya masing-masing punya cara sendiri -dalam hal ini- menentukan awal Ramadlan dan awal Syawal. Ormas ini bilangnya tanggal sekian, ormas yang lain bilangnya lain lagi, pun pemerintah juga berbeda. Lagi-lagi, kami-kami ini yang bodoh yang menjadi korban kebingungan.

Padahal, di jaman Rasulullah dahulu, satu orang saja yang melihat hilal (memang dulu, ini satu-satunya cara), maka otomatis yang lain mengikuti, dengan syarat orang tersebut adalah orang yang tsiqah (terpercaya). Maka, berkaca dari situ mestinya baik ormas ataupun pemerintah seyogyanya bisa satu kata dalam hal-hal semacam ini.

Wah, sulit bro… Sebagian ormas malah tidak suka dianggap “ngikut” pemerintah. Lebih baik berbeda, tapi hasil pengkajian sendiri. (Begitu, atau tidak begitu?)

Lalu bagaimana dengan bunyi, “Taatilah Allah. Dan taatilah Rasul-dan ulil amri diantara kalian”? (Al-ayat)

Maka, sidang itsbat yang akan digelar Menteri Agama (baca: Pemerintah) adalah kuncinya. Disana nanti semua ormas Islam di seluruh Indonesia akan berkumpul dan menyampaikan pendapatnya tentang awal Ramadlan atau awal 'Id. Dan pasti akan ada perbedaan pendapat. Maka, setelah palu diketok tanda putusan sudah final, maka seluruh ormas diharapkan dengan takzim mengikuti hasil putusan tersebut.

Dan diharapkan kita tak lagi disibukkan dengan masalah-masalah seperti ini lagi…

bismillah…
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, July 05, 2012

Tuesday, July 3, 2012

ujungkelingking - Ketika kita memutuskan untuk datang ke dokter, sering pada akhirnya kita mendapat obat antibiotik. Masalahnya seberapa penting antibiotik tersebut?

Antibiotik adalah zat antimikroba (zat antikuman) yang berasal dari  mikroba lain, umumnya jamur, atau dapat juga dibuat secara sintetik.  Satu jenis antibiotik  biasanya hanya ampuh untuk satu kelompok kuman tertentu, tetapi tidak  untuk kuman yang lain, tetapi ada pula antibiotik yang dapat membunuh  berbagai kelompok kuman.

Namun yang harus ditekankan adalah sembarangan mengkonsumsi antibiotik bisa menyebabkan masalah yang serius misalnya alergi, atau yang paling ditakuti adalah terjadinya resistensi (antibiotik yang dipakai menjadi tidak ampuh lagi). Kuman menjadi kebal terhadap antibiotik tersebut.

INFEKSI

Infeksi adalah masuknya mikroorganisme seperti virus, bakteri dan jamur ke dalam tubuh.

Sebagian (besar) masyarakat masih beranggapan bahwa bila tubuh demam maka hal itu pasti karena adanya infeksi dan membutuhkan antibiotik. Padahal sebenarnya tidak selalu demikian. Hal ini karena demam merupakan salah satu gejala dan merupakan reaksi tubuh biasa.

Tubuh memiliki kemampuan untuk bereaksi terhadap adanya gangguan. Reaksinya bisa sangat beragam, dan tidak serta merta menunjukan adanya suatu infeksi. Dalam literatur medis disebutkan bahwa selain infeksi, tubuh juga dapat mengalami peradangan (inflamasi) sebagai reaksi terhadap alergen (zat asing), iritasi fisik maupun kimia, dan juga luka.

Infeksi, tidak sama dengan inflamasi. Saat terjadi infeksi pasti timbul peradangan, tetapi bila terjadi peradangan belum tentu akibat infeksi. Salah satu cara untuk memastikannya adalah observasi yang dilakukan oleh dokter. Dokter biasanya akan memberikan obat anti radang untuk inflamasi, sedangkan infeksi diobati dengan antibiotik (untuk bakteri). Pada kasus anak batuk pilek misalnya, mungkin hanya terjadi peradangan di daerah tenggorokan akibat iritasi, jadi tak setiap radang membutuhkan antibiotik.

Sebenarnya, sebagian besar masalah kesehatan yang ada di masyarakat dapat diatasi sendiri. Namun begitu, masyarakat juga perlu untuk dicerdaskan melalui edukasi yang tepat.

Penyakit yang disebabkan oleh virus tidak perlu diobati dengan antibiotik karena fungsi antibiotik adalah mematikan bakteri. Pemberian antibiotik menjadi tidak berguna, kecuali dokter menduga telah terjadi infeksi bakteri. Namun, ini pun bukan untuk penyakit common cold. Penggunaan antibiotik secara tidak rasional hanya akan menimbulkan resistensi kuman. Apabila hal ini tidak ditangani secara cepat dan tepat, maka dapat berakibat buruk dan menimbulkan beban yang lebih besar.

Kita baru butuh antibiotik bila terserang flu yang penyebabnya adalah bakteri. Sedangkan penyakit flu yang diakibatkan virus adalah bersifat self-limiting disease, atau bisa sembuh dengan sendirinya. Bila kita terkena flu biasa atau batuk-pilek, cukup tingkatkan stamina tubuh dengan cara makan makanan bergizi agar tubuh sehat kembali. Juga, minum air putih yang banyak dan cukup istirahat.


Referensi:
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, July 03, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!