Friday, June 10, 2011

ujungkelingking - Ada sebuah kisah di jaman Rasulullah.

Seorang sahabat hendak berangkat ke medan perang. Sebelum berangkat, sahabat ini berpesan kepada istrinya agar tidak meninggalkan rumah selama dia berada di medan perang. Istri sahabat ini rupanya seorang istri yang sholehah. Pandai menjaga amanah. Taat kepada suami.

Setelah itu, beberapa waktu kemudian datanglah utusan dari orang tua si istri ini, mengabarkan bahwa ibunya sedang sakit keras. Ibunya berharap agar anaknya mau menjenguknya.

Istri sahabat ini dengan halus menolak. Ia mengatakan bahwa dirinya dilarang oleh suaminya untuk meninggalkan rumah, selama sang suami di medan perang. Maka pulanglah utusan itu.

Beberapa hari kemudian, utusan tersebut datang kembali. Dari utusan itu diperoleh kabar bahwa sakit ibunya semakin bertambah parah. Utusan itu berharap agar si istri sahabat ini sudi untuk menjenguknya, karena ini mungkin untuk yang terakhir kali.

Istri sahabat ini tetap menolaknya. Hatinya sedih mendengar keadaan ibunya, tapi dirinya adalah seorang muslimah –yang menjaga amanah suami adalah segala-galanya. Utusan itu pun akhirnya pulang dengan tangan hampa.

Hari berikutnya, utusan itu datang lagi. Kali ini kabar yang dibawanya cukup menyedihkan. Ibunya, telah meninggal. Lagi-lagi utusan itu meminta agar si istri ini mau untuk sekedar melihat jenazahnya.

Istri sahabat ini menangis. Namun dia tetap bergeming. Suaminya telah berpesan kepadanya, dan ia harus mentaatinya.

Utusan itu pun akhirnya kembali pulang. Akan tetapi sebelum pulang utusan itu mendatangi Rasulullah. Dia bermaksud melaporkan tindakan si istri sahabat –yang tidak mau menjenguk ibunya sendiri yang sedang sakit, hanya karena mentaati pesan suaminya.

Tapi apa jawaban Rasulullah?

“Perempuan itu, masuk Surga.”
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, June 10, 2011

Thursday, June 9, 2011

ujungkelingking - Pajak, secara globalnya dibagi menjadi 2 macam, yaitu pajak yang diambil secara adil dan memenuhi berbagai syaratnya; lalu pajak yang diambil secara dhalim dan melampaui batas.

Penetapan pajak karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa - sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut - maka dalam kondisi seperti itu ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya.


Hal tersebut berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar).

Berarti, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran beban berjihad-harta kepada setiap orang yang mampu. Imam an Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, mereka juga menguatkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.

Termasuk juga, pungutan untuk fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, atau apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“ (sesuatu, yang sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu pun bersifat wajib).

Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu:
  1. Bait al-maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.
  2. Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.
  3. Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at.

Pajak jenis ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah disebutkan oleh para ahli fikih empat madzhab, sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar bin al-Khathab radliallahu ‘anhu di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10% kepada para pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah sebesar 5%, dan 2,5% bagi pedagang kaum muslimin.

***

Sedangkan pajak jenis kedua yang diambil secara tidak wajar dan zhalim, maka hal itu adalah merupakan bentuk “penyitaan” yang diambil dari pemiliknya secara paksa. Hal ini menyelisihi prinsip umum syari’at Islam yang terkait dengan harta, yaitu hukum asal dalam permasalahan harta adalah haram diganggu, berpedoman pada dalil-dalil yang banyak, diantaranya adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berdasarkan hal ini, maka berbagai hadits yang mencela para pemungut pajak dan mengaitkannya dengan siksa yang berat, kesemuanya didasarkan kepada makna pajak yang diberlakukan secara tidak wajar dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan tanpa adanya pengarahan.

Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak kedlaliman, bahkan dia merupakan kedlaliman itu sendiri, karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak. (Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair)

Inilah kondisi riil saat ini. Berbagai pajak tidak wajar diwajibkan oleh pemerintahan atas kaum fakir. Kemudian, pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa dan kalangan elit, yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan ketika menerima tamu dari kalangan para raja dan pemimpin. Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan festival yang di dalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras, mempertontonkan aurat, pertunjukan musik dan tari serta kegiatan batil lainnya yang jelas-jelas membutuhkan biaya yang mahal.


Sumber: muslim.or.id
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, June 09, 2011

Wednesday, June 8, 2011

ujungkelingking - Bila seharian ini saya masih bernafas, maka itu berarti saya sudah menghirup udara gratis di dunia ini selama 233.280 jam, atau itu berarti sekitar 13.996.800 menit! Sebuah itung-itungan yang fantastis, tapi kebanyakan dari kita tidak pernah menyadarinya. Termasuk saya juga. Padahal, andai kita gagal menghirup udara selama 5 menit saja, kita sudah pasti “selesai” disini. Tapi begitulah kita, tak pernah sadar.

Begitu juga saya, sudah usia segini tapi masih belum “jadi apa-apa”. Masih begini-begini saja. Padahal, bertambah usia berarti berkurang umur. Banyak harapan, banyak rencana, tapi tak pernah te-realisasi, hanya karena tak pernah mau mencoba melangkah. Orang bilang, setiap permulaan itu sulit -saya bisa tambahkan- dan kita-lah yang harus membuatnya jadi lebih mudah.

Sayangnya, semua masih sebatas tulisan di kertas, cuma pikiran di dalam kepala. Saya, jujur saja, selalu takut melangkah. Takut jatuh, takut sakit, takut kecewa, takut shock, takut bangkrut, dan banyak lagi ketakutan-ketakutan yang menyelubungi hidup saya –yang saya sendiri yakin– bahwa ketakutan-ketakutan itu sesungguhnya tidak beralasan.

Untuk maju kita harus mulai melangkah. Katanya, perjalanan satu mil dimulai dari langkah pertama. Untuk tahu bagaimana cara berusaha yang benar, kita mungkin harus melakukan kesalahan dan gagal, untuk kemudian mempelajari kegagalan tersebut. Istilah di kampung saya "trial and error", hehe...

Bukankah semakin banyak dan sering kita berbuat kesalahan atau gagal, berarti kita semakin dekat dengan keberhasilan. Dan sebaliknya jika tidak pernah mencoba sama sekali berarti masih jauh dari keberhasilan. -Dale Carnegie-

Semuanya – sepertinya – harus dimulai dari cara berpikir kita. Baik saya maupun Anda. Pikiran sukses menciptakan orang sukses, kata John Kehoe, seorang penulis dari Irlandia. Tentunya pemikiran-pemikiran yang positif. Karena sebenarnya yang membuat orang gagal bukan apa yang ia pikirkan bahwa ia bisa, melainkan apa yang ia pikir bahwa ia tidak bisa. Itu seperti yang dikatakan Zig Ziglar, motivator dari negeri Paman Sam. Maksudnya, bila kita berpikir kita bisa, kita akan bisa. Sebaliknya, bila kita berpikir kita tidak bisa, maka itu berarti kita sudah gagal.

Tapi penting juga diingat bahwa ada dua jenis kegagalan.

Kegagalan yang pertama adalah orang yang berfikir, tetapi tidak pernah berbuat. Yang kedua adalah orang yang berbuat, tetapi tidak pernah berfikir. Artinya, setelah berpikir positif, maka langkah selanjutnya adalah action. Sebagian orang bermimpi untuk sukses sementara yang lainnya bangun dan bekerja keras untuk sukses. Saya dan Anda menjadi bagian yang mana, adalah bagaimana kita mensikapi pemikiran kita. Bahkan, kalau menganut kata Ernest Newman, seorang kritikus musik dari Inggris, orang-orang hebat di bidang apapun bukan baru bekerja karena mereka terinspirasi, namun mereka menjadi terinspirasi karena mereka lebih suka bekerja. Mereka tidak menyia-nyiakan waktu untuk menunggu inspirasi. Dan mereka tidak takut gagal. Bukankah, bagi seorang ilmuwan semacam Herman Kahn, pengambilan resiko adalah intisari inovasi?

Sebaliknya, bila mereka ternyata gagal, mereka tidak menyebut hal itu sebagai kegagalan. Sebab bila sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana, maka mereka menerimanya sebagai bagian dari tanggung jawab. Orang selalu menyalahkan keadaan untuk sesuatu yang terjadi pada dirinya. Sedangkan orang-orang sukses selalu bangkit dan mencari situasi yang mereka inginkan. Jika tidak menemukannya, mereka akan menciptakannya. -George Bernard Shaw-

Disamping kesemuanya itu, ada satu hal lagi yang cukup penting, yang perlu juga saya tulis disini. Saya kutip dari ungkapan James M. Barrie, bahwa rahasia kebahagiaan (saya menyebutnya, kesuksesan) bukanlah melakukan apa yang kita sukai, tapi menyukai apa yang kita lakukan.

Kita sering terjebak disini. Bukannya menyukai apa yang kita kerjakan, tapi lebih kepada mengerjakan apa yang kita sukai, padahal apa yang kita sukai itu tidak menghasilkan apa-apa untuk kita.

Maka penting untuk menyukai apa yang kita kerjakan, agar kita punya daya tahan lebih saat kita jatuh. Bila tidak, kita sangat mungkin terjebak pada depresi dan pesimistis.

Kesimpulannya, semakin matang usia kita, harusnya semakin sukses kita. Kita, harus memulainya sekarang juga. Memang tidak ada kata terlambat untuk berusaha, tapi bila kita terus menunda-nunda, maka itulah yang disebut kebodohan. Jika Anda menangguhkan segala hal sampai merasa yakin, Anda tidak akan menyelesaikan apa-apa. -Norman Vincent Peale-

At least, satu ungkapan yang amat menyejukkan hati, berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna. –Einstein-

Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, June 08, 2011

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!