Wednesday, April 6, 2011

ujungkelingking - Ini kisah tentang dua orang perempuan.
“Assalamu'alaikum saudariku....” Sapa seorang perempuan kepada perempuan yang dia temui di sebuah taman.

“Wa'alaikum salam.... Selamat datang saudariku”

“Terima kasih. Apakah ini. surga?” Tanya perempuan yang pertama.
Yang ditanya kemudian tersenyum, “Tentu saja bukan, saudariku. Ini hanyalah tempat menunggu sebelum ke surga”

"Benarkah?” Perempuan pertama terlihat takjub,
“Tak bisa kubayangkan seperti apa indahnya surga jika tempat menunggunya saja sudah seindah ini”

Perempuan yang ditanya tersenyum lagi ”Amalan apa yang bisa membuatmu kemari, saudariku?”

"Aku selalu menjaga waktu shalat dan aku menambahnya dengan ibadah sunnah”

“Alhamdulillah..”

Tiba-tiba jauh di ujung taman, mereka melihat sebuah pintu yg sangat indah. Pintu itu terbuka. Dan beberapa perempuan yang berada di taman itu mulai memasukinya satu-persatu.

“Ayo kita ikuti mereka” kata perempuan yang pertama sambil setengah berlari. “Apa yang ada di balik pintu itu?”

“Tentu saja surga saudariku” jawab perempuan yang kedua dengan lari yang -ternyata- semakin cepat.

“Tunggu... tunggu aku..” Teriak perempuan yang pertama. Ia masih berlari namun tetap tertinggal oleh perempuan yang kedua meski ia hanya setengah berlari sambil tersenyum kepadanya. Perempuan yang pertama ini tetap tak mampu mengejar perempuan di depannya meski ia sudah berlari.
Ia lalu berteriak kepadanya “Amalan apa yang telah kau lakukan hingga engkau begitu ringan?”

“Sama dengan engkau saudariku.” jawab perempuan yang kedua tetap dengan senyumannya

Perempuan inipun telah mencapai tempat yang dituju. Sebelah kakinya sudah melewati pintu. Sebelum perempuan itu melewati pintu sepenuhnya, perempuan yang pertama berteriak,

“Amalan apalagi yang kau lakukan tapi tidak kulakukan?”

Yang ditanya pun menjawab, “Apakah kau tak memperhatikan dirimu, apa yg membedakanmu dengan diriku?”
“Apakah kau mengira Rabbmu akan mengijinkanmu masuk ke Surga-Nya tanpa jilbab menutup auratmu?”
Ia lalu melanjutkan, ”Sungguh sangat disayangkan amalanmu tak mampu membuatmu mengikutiku memasuki surga ini untuk dirimu. Cukuplah surga hanya SAMPAI HATIMU saja karena niatmu adalah MENGHIJABI HATI.”

Perempuan pertama itu tertegun.. lalu terbangun.. Ia beristighfar lalu mengambil air wudhu. Ia tunaikan shalat malam. Menangis dan menyesali perkataannya dulu. Kemudian ia berjanji pada Rabbnya sejak saat itu ia akan menutup auratnya.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, April 06, 2011

Friday, April 1, 2011

ujungkelingking -

Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh tuduhannya itu akan kembali kepada salah seorang di antara mereka berdua.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Apabila sebagaimana apa yang dia katakan -maka dia tidak bersalah- akan tetapi apabila tidak sebagaimana yang dia tuduh maka tuduhan itu justru kembali kepadanya.”
[lihat Syarh Muslim (2/126-127) dan Shahih Bukhari, hal. 1254]

Maksud dari “tuduhan itu justru kembali kepadanya” adalah sebagaimana yang diterangkan oleh al-’Aini rahimahullah, yaitu, “Apa yang diucapkannya justru terarah kepada dirinya sendiri, karena orang yang dia kafirkan ternyata benar imannya (tidak kafir).” Sehingga maknanya adalah kalau tuduhannya itu tidak terbukti kebenarannya maka sesungguhnya dia telah mengkafirkan dirinya sendiri (‘Umdat al-Qari [22/245])

Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-’Aql berkata, “Takfir (mengkafirkan) adalah perkara yang diatur dalam hukum syari’at acuannya adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Maka tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena ucapan atau perbuatannya selama dalil syari’at tidak menunjukkan atas kekafirannya. Dengan disebutkannya istilah hukum kafir -secara umum- atas suatu ucapan atau perbuatan itu tidak secara otomatis menunjukkan jatuhnya vonis kafir tersebut -secara khusus- kepada pelakunya, kecuali apabila syarat-syarat -pengkafiran- itu sudah terpenuhi dan penghalang-penghalangnya tersingkirkan. Takfir merupakan hukum yang sangat berbahaya resikonya, oleh sebab itu wajib meneliti segalanya/tatsabbut dan berhati-hati di dalam menjatuhkan vonis kafir ini kepada seorang muslim.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 19) 

Berikut ini ada beberapa catatan penting seputar takfir yang harus diperhatikan:
  • Pedoman dan tempat rujukan dalam hal takfir ini adalah Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu al-Kitab dan as-Sunnah).
  • Orang yang terbukti keislamannya dengan meyakinkan maka keislamannya itu tidak lenyap darinya kecuali dengan bukti yang meyakinkan pula.
  • Tidak setiap ucapan atau perbuatan -yang disebut oleh dalil sebagai bentuk kekafiran- menjadi kekafiran besar yang mengeluarkan dari agama. Sebab kekafiran itu ada dua macam: kufur asghar (kecil) dan kufur akbar (besar). Maka menerapkan hukum terhadap ucapan atau perbuatan tersebut hanya bisa dilakukan dengan mengikuti metode ulama Ahlus Sunnah dan aturan-aturan yang telah mereka terangkan.
  • Tidak boleh menjatuhkan hukum takfir kepada seorang muslim pun kecuali orang yang ditunjukkan dengan jelas dan gamblang mengenai kekafirannya oleh dalil al-Kitab dan as-Sunnah, sehingga dalam hal ini tidak cukup berlandaskan kepada syubhat/perkara yang masih samar ataupun sekedar dugaan.

Terkadang disebutkan di dalam al-Kitab ataupun as-Sunnah sesuatu yang dipahami bahwa ucapan, perbuatan, atau keyakinan tertentu sebagai kekafiran. Maka tidak boleh semata-mata berdasarkan hal itu kemudian dengan serta merta menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang kecuali apabila telah ditegakkan hujjah kepadanya: yaitu dengan terpenuhinya syarat-syarat -dalam keadaan dia mengetahui, sengaja, dan atas dasar pilihannya sendiri- dan juga dengan hilangnya penghalang-penghalang -untuk dikafirkan- yaitu perkara-perkara yang menjadi lawan dari syarat-syarat tersebut (artinya; dia tidak jahil, dalam keadaan sadar, dan tidak terpaksa)

(Lihat lebih lengkap dalam Mujmal Masa’il al-Iman al-’Ilmiyah fi Ushul al-’Aqidah as-Salafiyah, hal. 17-18).

Allahul musta’aan…

(SELESAI)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, April 01, 2011
ujungkelingking - Sebagian orang menganggap demokrasi adalah haram, bahkan termasuk kemusyrikan. Karena di dalam konsep demokrasi rakyat menjadi sumber hukum dan kekuasaan ditentukan oleh mayoritas.

Di satu sisi mereka benar, yaitu mengingkari demokrasi yang hal itu termasuk dalam bentuk kekafiran dan kemusyrikan. (Kitab Tanwir adh-Dhulumat karya Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam -hafidhahullah-).

Namun, di sisi lain mereka juga melakukan kesalahan yang sangat besar yaitu serampangan dalam menjatuhkan vonis kafir kepada orang. Biasanya mereka berdalil dengan ayat (yang artinya),
“Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” [Al-Maa’idah: 44]

Sederhananya begini, bahwa seandainya mereka -pemerintah- berhukum dengan selain hukum Allah, maka ada satu hal penting yang perlu diingat, yaitu bahwa tidak semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu dihukumi kafir.

Berikut ini adalah ringkasan penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan isi Kitab at-Tauhid:

Yang dimaksud dengan berhukum dengan selain hukum Allah yang dihukumi kafir dan murtad -sehingga layak untuk disebut sebagai thaghut- adalah dalam tiga keadaan:
  1. Apabila dia meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah -yang bertentangan dengan hukum Allah- itu boleh, seperti contohnya: meyakini bahwa zina dan khamr itu halal.
  2. Apabila dia meyakini bahwa selain hukum Allah itu sama saja (sama baiknya) dengan hukum Allah.
  3. Apabila dia meyakini bahwa selain hukum Allah lebih bagus daripada hukum Allah.

Lalu, dia bisa dihukumi dhalim (belum kafir), apabila dia masih meyakini hukum Allah lebih bagus dan wajib diterapkan namun karena kebenciannya kepada orang yang menjadi objek hukum maka dia menerapkan selain hukum Allah. Demikian juga ia dikatakan fasik (belum kafir), apabila dia menggunakan selain hukum Allah dengan keyakinan bahwa hukum Allah yang benar, namun dia melakukan hal itu dorongan hawa nafsu, suap dsb. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa tindakan orang yang mengganti syari’at dengan undang-undang buatan manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk kekafiran akbar. Meskipun demikian, orang yang memberlakukan undang-undang ini tidak serta merta dikafirkan. Seperti misalnya, apabila dia menyangka bahwa sistem yang diberlakukannya itu tidak bertentangan dengan Islam, atau dia menyangka bahwa hal itu termasuk urusan yang diserahkan oleh Islam kepada manusia, atau dia tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu termasuk kekafiran (al-Qaul al-Mufid [2/68-69 dan 71]).

Berdasar keterangan di atas tentu jelas bagi kita bahwa tindakan yang dengan mudahnya mengkafirkan penguasa serta menjuluki mereka sebagai rezim thaghut adalah sebuah tindakan serampangan dan tidak dibangun di atas ilmu yang benar. Bahkan, kalau diteliti lebih jauh ternyata mereka itu telah terjangkiti pemikiran-pemikiran Khawarij modern!

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, April 01, 2011

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!