Showing posts with label MOTIVASI. Show all posts
Showing posts with label MOTIVASI. Show all posts

Wednesday, July 10, 2013

ujungkelingking - Saya masih ingat setahun yang lalu ketika saya masih aktif-aktifnya menulis di Kompasiana, awal Ramadhan seperti ini pernah ada yang menulis sebuah artikel berjudul "Selamat Datang, Bulan yang 'Nggak Banget'". Entah, apakah ungkapan di atas adalah ungkapan sarkastik penulis artikel atau hanya semacam sindiran saja bagi kita, kaum Muslimin.

Seperti kita tahu, kalau masuk bulan puasa seperti sekarang ini amat sulit sekali dijumpai warung atau depot yang buka di siang hari. Alasan mereka sama, yaitu menghormati yang sedang berpuasa. Daripada mengganggu kekhusyuk'an mereka yang berpuasa, maka pedagang-pedagang itu memilih libur berjualan.
Dari sini saja bisa disimpulkan bahwa ada kesalahan berpikir pada masyarakat kita. Kenapa tidak boleh berjualan ketika bulan puasa, toh penjualnya juga berpuasa? Bahkan meskipun penjualnya tidak berpuasa, apakah dengan ia berjualan akan mengurangi nilai ibadah kita? Apakah kita takut tergiur makanan tersebut sehingga membatalkan puasa? Mudah-mudahan tidak ada yang memiliki pemikiran seperti itu. Tidak ada hubungannya antara puasa kita dengan jualan orang lain.

Bukankah Ramadhan adalah upaya pengekangan hawa nafsu? Lha kalau nafsunya saja tidak ada (karena yang berjualan makanan tidak ada) lalu apanya yang dikekang? Islam tidak pernah mengharamkan berjualan makanan dan minuman pada siang hari di bulan puasa. Bahkan, Islam menganjurkan agar orang-orang yang berpuasa tetap beraktifitas sebagaimana biasanya.

Memang ada anggapan bahwa tidurnya orang yang berpuasa itu bernilai ibadah. Tapi tentu, tetap beraktifitas dan beribadah itu jauh lebih baik daripada menghabiskan hari-hari hanya dengan tidur. Ingat bahwa bekerja dan beraktifitas itu bisa bernilai ibadah jika kita niatkan mengharap ridha Allah.

So, Anda yang berpuasa harus dihormati? Jangan manja, ah!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, July 10, 2013

Friday, June 28, 2013

ujungkelingking - Bila dalam artikel ini saya menggunakan judul Inilah Alasan Kenapa Kita Harus Menulis yang Baik-Baik Saja, bukan berarti ini adalah satu-satunya alasan. Apa yang akan saya tulis ini hanyalah salah satu saja dari sekian alasan-alasan yang mengharuskan kita untuk menuliskan hal-hal yang baik saja. Dan alasan ini tidak berhubungan dengan agama manapun.

Sebenarnya postingan ini terinspirasi dari catatan seorang teman di lingkaran G+ saya. *Colek mbak Iyang Alfaroeq, hihi...

***

Kita seringkali secara langsung mengungkapkan apa yang ada di dalam benak kita ke publik, entah itu melalui social media atau blog. Apa yang sedang kita rasakan, saat itu juga secara spontan langsung kita update di status kita. Yang kita rasakan itu bisa jadi rasa kecewa, lalu kita mengungkapkan kekecewaan kita. Atau mungkin sakit hati, lalu kita menumpahkan kemarahan kita. Atau sedih, dan berharap orang lain merasa kasihan kepada kita. Atau kesal, dan sebagainya.

Tentu saja sebagai pemilik, kita bebas menulis apapun di akun kita. Hanya masalahnya, seringkali kita lupa bahwa apa yang kita ungkapan di dalam status-status kita itu bersifat abadi, tidak seperti diary yang suatu saat bisa usang. Tulisan-tulisan itu tidak akan hilang sampai kapanpun, kecuali bila kita sendiri yang menghapusnya.

Karena itulah bila ungkapan-ungkapan yang buruk, ucapan yang tidak pantas dan kata-kata kotor atau gerutuan yang tidak jelas yang kita tulis di akun kita, maka hal-hal itu akan tetap ada sampai setahun, dua tahun, duapuluh tahun yang akan datang. Sampai anak-anak kita dewasa dan pada akhirnya mengerti "siapa kita" melalui tulisan-tulisan yang kita tinggalkan tersebut. Sangat disayangkan.

Saya tidak tahu seperti apa model teknologi media sosial atau blog di masa yang akan datang. Yang jelas tidak mungkin semakin terbelakang. Bisa saja anak atau cucu kita dapat dengan mudah menemukan "kita" meski akun kita tidak memakai nama yang sebenarnya. Lalu kemudian anak-cucu kita melihat kita yang tukang marah, suka menggerutu, senang mengumpat dan mencaci-maki?

Malu, ah!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, June 28, 2013

Wednesday, May 22, 2013

ujungkelingking - Waoww! Apa benar? Bagaimana bisa aktifitas menulis seperti orang yang sedang bercinta?

Menulis, sejatinya bukanlah melulu aktifitas fisik. Ia lebih menitik-beratkan pada kinerja otak. Seseorang yang menulis, ia menggunakan segala pikirnya agar dapat menuangkan ide gagasannya.

Foreplay

Seseorang yang akan menulis, terlebih dahulu ia menentukan ide. Rancangan dari gagasan yang akan ia tulis. Bahkan pada orang-orang yang menulis secara spontan-pun, mereka sudah menyusun rancangan ini dengan tanpa sadar. Entah kalimat pembukanya, entah bahasa, atau teknik menulis yang dipakainya.

Kinerja 2 Otak

Seringkali bagi kita yang menulis menggunakan kinerja 2 otak secara bersamaan. Tak jarang dalam tulisan kita menciptakan logika otak kiri sekaligus fantasi otak kanan. Inilah yang menyenangkan sesungguhnya. Dengan menggunakan kedua otak secara simultan, menyebabkan keseimbangan keduanya terjaga. Otak menjadi lebih hidup dan lebih cerdas.

Tenaga fisik

Bagi kita yang lebih mengandalkan kualitas tulisan, bergadang atau bolak-balik ke perpus bukanlah hal yang bisa diabaikan. Sebab sekalinya ide muncul, bila tidak segera di-approve, bisa musnah tanpa bekas.

Klimaks!

Dan ketika semuanya sudah selesai, setelah kita mencurahkan segenap tenaga dan pikir kita, lalu publish!, ah, leganya...

Dan meskipun capek, besok pasti kita ingin menulis lagi... ^_^
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, May 22, 2013

Tuesday, May 21, 2013

ujungkelingking - Seringkali kita mendengar nasehat, entah itu ditujukan langsung kepada kita atau tidak, agar kita selalu menjadi diri sendiri, menjadi diri kita yang apa adanya. Be your self!

Namun agaknya nasehat semacam ini tidak bisa langsung diterima secara mentah. Menjadi diri sendiri bukanlah hal yang bagus ketika kita bukan orang baik. Hm? Maksudnya begini, menjadi diri sendiri bukan kemudian diartikan bahwa apa yang kita lakukan adalah benar lalu kita menutup diri dari kritikan.

Misalnya saja seseorang menasehati kita, "Jangan begitu. Itu tidak sopan.", apa lantas kita menjawab, "Ya memang beginilah aku."? Tentu tidak bisa begitu. Ketika kita melakukan hal yang salah lalu ada orang yang mengkritik, maka menjadi diri sendiri berarti melihat, menakar atau menyeleksi posisi kita. Lalu kemudian ada keberanian untuk mengakui jika hal tersebut memang tidak benar.

Maka menjadi diri sendiri pada hakikatnya adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi yang seharusnya, atau -dengan kata lain- mengembalikan diri kepada posisi fitrah!

Manusia yang menjadi dirinya sendiri bukanlah menjadi manusia yang anti-kritik, pun juga bukan yang ikut-ikutan saja apa kata orang. Ada semacam kemampuan melihat ke-obyektifitas-an di sini. Apa yang benar, diterima. Yang salah, ditolak.

Benar menurut siapa, salah bagi siapa?

Bagi kita yang Muslim, maka Islam adalah tolok-ukurnya. Jika menurut Allah dan Rasul-Nya hal itu baik, maka berarti memang baik. Silahkan diterima, silahkan dilakukan. Begitu juga jika sebaliknya.

Inilah ke-obyektifitas-an itu.

Setiap hal -benar atau salah- harus berdasarkan Islam. Karena itulah cara kita menjadi diri sendiri (baca: fitrah).

Bukankah Islam adalah agama fitrah?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, May 21, 2013

Monday, May 20, 2013

ujungkelingking - Judul artikel ini saya ambil dari status pada sebuah akun fesbuk beberapa waktu yang lalu. Tentu saja kalimat di atas sudah sedikit saya perhalus, karena teks aslinya lumayan kasar kalau harus dituliskan di sini.

Tulisan ini tidak akan membahas "kata-kata Mario Teguh", namun secara umum, kata-kata atau nasehat dari orang lain.

Tentu saja semua nasehat itu baik. Hanya apakah tepat atau tidak ketika diterapkan dalam kondisi kita, itu lain soal. Ini yang harus dipahami lebih dulu. Permasalahan yang sama terkadang memang membutuhkan nasehat yang berbeda karena situasi dan kondisinya yang sudah tidak sama.

Analogi yang lebih sederhana mungkin begini. Anda sakit dan memutuskan untuk pergi ke dokter. Kemudian setelah dilakukan serangkaian tes dan pemeriksaan, oleh dokter Anda diberikan secarik kertas resep obat. Lalu Anda dengan marah membentak, "Penyakit saya tidak akan sembuh hanya dengan kertas resep, Dok!" Si dokter pasti bengong dan melongo.

Lha iya, kertas resep memang hanya kertas. Tidak berguna kalau hanya Anda baca. Anda harus membawanya ke apotik untuk ditukar dengan beberapa obat yang harus Anda beli. Lalu Anda tinggal minum dengan mengikuti aturan obat tersebut. Jika belum sembuh, mungkin Anda bisa mencoba dokter lain atau obat lain untuk Anda minum.

Intinya adalah action dari diri kita. Seorang motivator atau pemberi nasehat hanya memberikan arah. Perkara kita mau menjalaninya atau tidak, sepenuhnya tergantung kita sendiri. Inilah yang gagal dipahami oleh orang yang mengupdate status-status sejenis di atas.

Janganlah kita menjadi orang-orang yang sombong. Bukankah dalam Agama, orang yang sombong itu adalah orang yang menolak kebenaran (nasehat)?

Maka terimalah nasehat dari manapun ia datangnya. Masalah sesuai kondisi atau tidak, itu soal nanti.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, May 20, 2013

Monday, May 13, 2013

ujungkelingking - Ketika Anda memutuskan untuk mengajukan lamaran ke sebuah perusahaan, lalu Anda kemudian dipanggil untuk melakukan serangkaian interview, maka ketika pihak perusahaan tertarik untuk mempekerjakan Anda, maka sejak saat itu Anda berstatus sebagai pegawai baru (jreng-jreng!).

Biasanya Anda akan langsung diantar ke lokasi kerja Anda dan diperkenalkan dengan orang-orang yang akan menjadi tim Anda nantinya. Jika Anda beranggapan bahwa ini adalah komunikasi awal, Anda salah. Ini "hanya" perkenalan formalitas semata. Selanjutnya -untuk awalnya- akan ada orang yang bertugas membimbing pekerjaan Anda. Orang ini bisa jadi atasan Anda langsung atau orang yang ditunjuk oleh perusahaan. Siapapun itu, tampilkan imej yang bagus (mau diajari), dan bersikap sok tahu sangat tidak disarankan.

Yang perlu disadari sebagai pegawai baru adalah bahwa kita tidak tahu apa-apa di lingkungan tersebut. Misalnya, karakter atasan dan teman-teman kita seperti apa, sistem kerjanya bagaimana, dsb. Karena itu diperlukan usaha untuk mengenal lingkungan baru kita. Bagaimana caranya?

Membuka diri adalah komunikasi awal

Cara paling mudah untuk mengakrabkan diri dengan pegawai-pegawai yang lebih senior adalah pada jam makan siang, karena pada jam ini orang-orang sedang santai. Cobalah untuk ikut dalam acara makan siang mereka, tentu saja tanpa memaksa. Anda bisa mulai bertanya, "Mau makan dimana, Pak?" atau, "Boleh ikut gabung, Pak?".

Nanti di sela-sela makan siang, mereka pasti akan bertanya tentang Anda. Standartnya tentang tinggal dimana, sudah berkeluarga atau belum, sudah pernah kerja di tempat lain atau tidak, dan sebagainya. Inilah yang saya sebut dengan komunikasi awal. Ini langkah awal mereka mengenal Anda. Jawab dengan apa adanya tanpa membanggakan diri. Tidak ada orang yang suka disombongi, apalagi oleh "anak baru kemarin".

Nah, jika Anda berhasil disini, biasanya mereka akan suka memberikan "informasi-informasi" yang harus Anda ketahui tentang atasan atau perusahaan Anda. Misalnya tentang apa yang tidak disukai oleh atasan Anda, atau cara kerja yang disukai oleh teman-teman yang sudah senior.

Bersikap baik, bukan "menjilat"

Mengetahui "informasi-informasi" tersebut bukan berarti Anda harus menjilat atasan agar bisa survive. Itu cara licik untuk sukses. Para penjilat biasanya melakukannya dengan "menjual omongan" tentang kejelekan pegawai lain kepada atasan. Bisa saja atasan Anda semakin suka dengan Anda, tapi bagaimana dengan pegawai (baca: teman kerja) yang lain? Mungkin mereka akan menjaga jarak dan bersikap hati-hati terhadap Anda. Dan yakinlah, situasi seperti itu tidak menyenangkan untuk bekerja.

Doing your parts

Hindari mengurusi pekerjaan orang lain. Bukan Anda yang bertugas menilai pekerjaan orang lain (kecuali jika Anda adalah bagian HRD, hihi). Kerjakan saja pekerjaan Anda. Akan lebih tenang dengan itu.


*masih kesulitan mencari lanjutannya...



Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, May 13, 2013

Friday, April 26, 2013

ujungkelingking - Pada postingan sebelumnya, yaitu Ajal Bukan Hanya Untukmu, saya sudah membahas tentang kematian. Untuk kali ini saya ingin menarik benang merah dari panjang umur seseorang dihubungkan dengan sikap hidupnya yang konsumtif (boros). Artikel ini saya beri judul Teori Korelasi Antara Batas Umur dan Sikap Konsumtif Manusia.

Jelas teori ini belum pernah diuji. Dan mungkin tak akan pernah bisa diuji karena melibatkan Dia, Yang Maha Berkehendak.

Teori ini berbunyi, "Orang yang konsumtif lebih cepat berkurang jatah umurnya daripada orang yang tidak konsumtif". Ini berarti agar bisa memperpanjang umur, seseorang tidak boleh berlaku konsumtif alias boros.

Apakah memang seperti itu? Mari kita analisis.
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah dan carilah nafkah dengan cara yang baik, karena sesungguhnya seseorang sekali-kali tidak akan meninggal dunia sebelum rezekinya disempurnakan, sekalipun rezekinya terlambat (datang) kepadanya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik, ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram."
[Shahih Ibnu Majah no. 1743, Ibnu Majah II: 725 no. 214]

Ini mengindikasikan bahwa ketika seseorang meninggal berarti rejeki yang telah menjadi jatah untuk dirinya sudah sempurna (habis). Siapa yang menghabiskan? Tentu dirinya sendiri melalui perilaku dalam hidupnya.

Setiap kita memiliki jatah rejekinya sendiri-sendiri. Ketika rejeki tersebut habis, maka disitulah saatnya ajal kita. Sehingga, logika yang bisa dimunculkan adalah, jika kita bisa 'menghemat' rejeki kita -yaitu dengan meniggalkan pola hidup konsumtif- maka harapan untuk memperpanjang jatah umur kita menjadi lebih besar.

Kita ambil contoh yang paling dekat, misalnya: pecandu rokok, pecandu obat-obatan atau minuman keras (apologize for the offense, but I have to give an example). Dalam banyak penelitian medis diungkapkan bahwa ketika seseorang merokok maka dikatakan bahwa jatah umurnya akan berkurang. Yang lain menyebutkan bahwa dengan satu hisapan rokok bisa mengurangi umur sekian menit. Penelitian tersebut tentu bukan hasil dari pengamatan sementara. Hal ini bisa jadi karena dengan membeli rokok berarti dia telah memboroskan uangnya (uang = rejeki), dan dengan merokok dia telah memboroskan kesehatannya (kesehatan = rejeki). Maka dengan menghambur-hamburkannya berarti sama dengan menghabiskannya dengan cepat.

Begitu juga yang terjadi pada pecandu obat-obatan atau minuman keras. Maka menjadi tak heran jika kita disuguhi banyak berita tentang orang-orang yang meninggal karena over dosis atau yang meninggal setelah pesta miras. Hal tersebut terjadi karena jatah rejeki mereka yang berupa kesehatan, disia-siakan.

Dengan ini kemudian lahir teori turunannya bahwa banyak rejeki berbanding lurus dengan panjangnya umur.

***

Kalau begitu apakah kita harus bersikap pelit dan anti sedekah dalam rangka 'menghemat' rejeki?

Dihemat atau tidak, rejeki kita pastilah akan habis pada waktunya. Jadi bersikap pelit dan anti sedekah bukanlah solusi yang benar, karena justru balasan bagi orang yang pelit justru adalah pendeknya umur.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Tidak satu hari pun dimana seorang hamba berada padanya kecuali dua Malaikat turun kepadanya. Salah satu di antara keduanya berkata, 'Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak'. Sedangkan yang lainnya berkata, 'Ya Allah, hancurkanlah harta (rejeki, pen.) orang yang kikir.'"
[Bukhari, Muslim]
Cukup jelas kemudian bahwa bersikap pelit, kikir dan bakhil adalah justru mempersempit rejeki diri kita sendiri. Dan jika rejeki sudah sempit (sedikit), maka jatah umur kita juga sedikit.

Maka terhadap rejeki yang dianugerahkan kepada kita sudah menjadi kewajiban untuk kita syukuri. Dan yang dimaksud dengan bersyukur itu adalah: menggunakan rejeki tersebut sebagaimana kehendak Yang Maha Pemberi Rejeki. Secara eksplisit yaitu bersedekah atau membuat rejeki itu bermanfaat kebaikan bagi banyak manusia.

Karena itulah bagi orang-orang yang gemar bersedekah, maka baginya dijanjikan tentang panjangnya umur. Bukankah sering dikatakan bahwa sedekah itu dapat menolak bala' dan memperpanjang umur?
Yang dapat menolak takdir adalah doa, dan yang dapat memperpanjang umur adalah kebajikan (amal).
[Ath-Thahawi]
Hal ini tentu sejalan dengan teori di atas.



Benarkah ada korelasi antara bersedekah dan panjang umur?

Benar. Karena ketika seseorang bersedekah maka sebenarnya harta (baca: rejekinya) tidak menjadi berkurang, akan tetapi justru bertambah. Ini juga berarti jatah umurnya menjadi bertambah pula.
Tidak akan pernah berkurang harta yang disedekahkan kecuali ia bertambah... bertambah... dan bertambah.
[At-Tirmidzi]
Di samping itu, para peneliti menemukan bahwa ketika seseorang berhadapan dengan situasi stres, mereka yang terbiasa membantu orang lain lebih rendah mengalami gangguan kesehatan. Hal ini pernah disampaikan  peneliti Michael J. Poulin, PhD, asisten profesor psikologi di Universitas Buffalo, seperti dilansir di Dailymail.

Penelitian sebelumnya oleh Greater Good Science Center di California menegaskan bahwa efek kebiasaan menolong itu seperti candu. Bersedekah dikatakan membuat bagian otak mengeluarkan hormon dopamin, yang memberikan efek bahagia. Yang pada akhirnya berpengaruh kualitas kesehatan dan memperpanjang umur.

***

Lalu ada pertanyaan, bagaimana dengan si A yang hidup hemat namun meninggal muda, sedang si B yang konsumtif justru masih hidup hingga sekarang?

Jawabannya -tentu saja- karena jatah rejeki untuk setiap orang berbeda-beda. Ada yang diberi jatah rejeki sedikit dan ada pula yang diberi jatah rejeki melimpah.

Secara matematis bisa kita analogikan seperti ini. Kita umpamakan saja si A mendapat jatah rejeki 10. Dan karena dia bukan orang yang konsumtif, sehari dia hanya menghabiskan 1 dari rejekinya. Maka pada hari kesepuluh rejekinya habis dan disitulah ajalnya tiba. Sedang si B mungkin saja mendapat jatah rejeki 100, sehingga meski dalam sehari dia menghabiskan 5 atau 7 dari jatah rejekinya, dia tidak akan mati dalam sepuluh hari (karena jatah rejekinya belum habis).

Dan terakhir sebagai penutup, seperti yang sudah saya singgung di awal postingan bahwa teori ini jelas tak mungkin bisa diuji, karena semuanya tergantung kehendak Yang Memiliki Segenap Takdir. Namun demikian ada 3 hal yang tetap bisa kita imani, yaitu bahwa,
  1. Balasan atau pahala yang berlipat bagi yang bersedekah adalah PASTI.
  2. Hukuman atau siksa bagi yang pelit adalah PASTI.
  3. Berbuat baik bagi manusia, maka meski jasad berkalang tanah, nama kita tetap akan dikenang dan menjadi teladan bagi yang masih hidup. Ini juga dinamakan panjang umur.
Apabila anak Adam wafat putuslah semua amalnya kecuali tiga hal: yaitu (1) shodaqah jariyah, (2) pengajaran dan penyebaran ilmu yang bermanfaat untuk orang lain, dan (3) anak yang mendoakannya.
[Muslim]
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, April 26, 2013

Friday, February 22, 2013

ujungkelingking - Ada seseorang yang sering berdoa meminta sesuatu kepada Allah.

Orang ini begitu shaleh, ibadahnya baik. Perintah-Nya dilakukan, larangan-Nya ditinggalkan. Tapi doa yang diminta tak kunjung terkabul.

Terus dan terus berdoa, namun masih belum terkabul juga.

Dia melihat teman kantornya. Orangnya biasa saja. Tak istimewa. Sholat masih bolong-bolong. Kelakuannya juga sering nggak beres, sering tipu-tipu dan bohong sana-sini. Tapi anehnya, apa yang dia doakan, semuanya dipenuhi.

Orang yang shaleh ini pun heran. Akhirnya, dia mendatangi seorang Ustadz. Diceritakanlah permasalahan yang sedang dihadapinya. Tentang doanya yang sulit terkabul padahal dia taat, sedangkan temannya yang bandel, malah mendapat apa yang dia inginkan.

Tersenyumlah Ustadz ini. Bertanyalah sang Ustadz kepadanya,

"Kalau Anda sedang duduk-duduk di warung, kemudian datang pengamen. Tampilannya urakan, main musiknya gak bener, suaranya fals, bagaimana?"

Orang shaleh tadi menjawab, "Segera saya kasih pak Ustadz, gak tahan ngeliat dan ndengerin dia lama-lama di situ, sambil nyanyi pula."

"Kalau pengamennya yang datang rapi," lanjut sang Ustadz, "Main musiknya enak, suaranya empuk, bawain lagu yang kamu suka, bagaimana?"

"Wah, kalo yang begitu, saya dengerin Ustadz. Saya akan biarkan dia menyanyi sampai habis. Lama pun nggak masalah. Kalau perlu saya suruh nyanyi lagi, bahkan sampai se-album pun saya rela. Kalau pengamen yang tadi saya kasih 500, yang ini 10.000 juga berani, Ustadz."

Sang Ustadz pun tersenyum bijak. "Begitulah,

Allah, ketika melihat engkau yang sholeh datang menghadap-Nya, Allah betah mendengarkan doamu. Allah suka melihat kamu. Dan Allah ingin sering bertemu kamu dalam waktu yang lama. Bagi Allah, memberi apa yang kamu minta itu gampang sekali. Gampang sekali. Tapi Dia ingin menahan kamu agar khusyuk, biar dekat sama Dia.

Coba bayangkan seandainya doamu cepat dikabulkan, apa kamu bakal sedekat ini dengan-Nya? Dan yakinlah, di penghujung nanti apa yang kamu dapatkan akan jauh lebih besar dari apa yang kamu minta.

Berbeda dengan temanmu itu. Allah gak mau dia deket-deket sama Dia. Sudah, biar bergelimang dosa saja dia. Makanya Allah buru-buru memberi. Sudah. Jatahnya ya segitu saja, tidak mungkin dtambah.

Dan yakinlah, kalaupun apa yang kamu minta ternyata tidak Allah kabulkan sampai akhir hidupmu, masih ada akhirat. Sebaik-baik pembalasan adalah jatah surga bagi kita. Tidak akan kekurangan kita di situ."

Tidak akan kekurangan kita di situ.

di-share dari seorang teman di GooglePlus.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, February 22, 2013

Wednesday, February 6, 2013

ujungkelingking - Di-share dari Google+, oleh Ferry Dwi Purnamansyah. (Dengan perubahan seperlunya)

Anda ingin berangkat ke Tanah Suci? Benar-benar ingin?! Insya Allah inilah kuncinya.

Seorang anak ingin memiliki sepeda. Lantas apa tanggapan ayahnya?
  • Pantaskan ilmunya. Maksudnya, belajarlah bersepeda walaupun belum punya sepeda.
  • Pantaskan uangnya. Menabunglah. Rutinkan menyisihkan uang tiap minggu atau tiap bulan, meski mungkin tidak pernah cukup untuk membeli sepeda.
Memang, tabungan itu tidak akan pernah cukup. Namun, melihat kesungguhan si anak dalam belajar bersepeda dan menabung, maka ayahnya akan tergugah dan mencukupkan tabungan tersebut.

Begitu pula Anda yang ingin berangkat ke Tanah Suci.

Pantaskan ilmunya

Pelajari buku-buku tentang umrah dan haji, tentang do'a dan amalan-amalannya. Bertanya kepada orang-orang yang pernah kesana. Ikuti pelatihan dan manasik haji. Dan minta brosur atau keterangan dari biro-biro perjalanan haji.

Pantaskan uangnya

Bisa diawali dengan membuka rekening khusus haji dan umrah. Lalu rutinkan menabung, walaupun kecil.

Pantaskan pahalanya

Rasulullah pernah bersabda,
"Barangsiapa yang sholat Shubuh secara berjama'ah (di masjid) lalu ia duduk dan berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan sholat dua rakaat (sholat Isyraq), maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umrah". Beliau pun bersabda, "Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna." (Tirmidzi: 586)

Perbanyak sedekah, sholat tahajjud dan Dluha, serta amalan-amalan lain. Perlu juga untuk meminta do'a dari orangtua dan suami/istri kita. Selanjutnya biar Allah yang mencukupkan.

Sumber: iqrotegal.blogspot.com

Bukankah Allah yang menyuruh kita melaksanakan haji? Maka dengan izin-Nya kita pasti akan menginjakkan kaki di Tanah Suci dalam waktu dekat.

Berapa banyak orang yang kaya, muda dan sehat, tapi tidak kesampaian menginjakkan kaki di Tanah Suci? Berapa banyak pula orang yang miskin, tua, cacat dan lemah yang sampai disana? Begitulah, bagi Allah Yang Maha Kuasa, tidak ada yang mustahil bagi-Nya.


nb. ditulis sebagai cara untuk memotivasi diri.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, February 06, 2013
ujungkelingking - Islam mengajarkan agar kita selalu memperbanyak sedekah. Namun ada beberapa orang yang ragu-ragu terhadap sedekahnya. Ragu-ragu bahwa sedekah tersebut tidak sampai sasaran, atau ragu-ragu bahwa penerima sedekah tersebut bukanlah orang yang berhak, sehingga muncul kekhawatiran bahwa sedekah kita tidak diterima oleh Allah subhanahu wa ta'alaa.

Menghadapi kekhawatiran tersebut, ada baiknya kita simak satu cerita berikut ini,

Di suatu sore, Rasulullah sedang berbincang-bincang bersama para shahabat di serambi Masjid Nabawi. Rasulullah kemudian bercerita,

Pada suatu masa, ada seorang laki-laki, dia berkata kepada dirinya sendiri, "Aku akan bersedekah!". Maka keluarlah ia pada suatu malam dan ia memberikan sedekahnya tersebut kepada seorang perempuan yang ditemuinya.
Namun, belakangan baru diketahuinya ternyata perempuan tersebut adalah seorang perempuan pezina. Sehingga hal tersebut menjadi pergunjingan banyak orang.
Laki-laki tersebut berkata, "Demi Allah, sedekahku telah salah alamat, karena itu aku akan bersedekah lagi!". Maka keluarlah ia dan memberikan sedekahnya kepada seorang laki-laki.
Namun, belakangan baru diketahuinya bahwa ternyata laki-laki yang menerima sedekahnya adalah seseorang yang kaya raya. Hal ini kembali menjadi pergunjingan banyak orang.
"Demi Allah," kata laki-laki ini, "Sedekahku salah alamat, maka aku akan bersedekah lagi!". Maka keluarlah ia dan memberikan sedekahnya kepada seorang laki-laki yang ditemuinya di jalan.
Belakangan baru diketahuinya bahwa ternyata laki-laki yang menerima sedekahnya ini adalah seorang pencuri. Sehingga hal ini kembali menjadi pergunjingan orang banyak.
Laki-laki tersebut akhirnya menangis. "Ya Allah, sedekahku salah alamat. Pertama kepada perempuan pezina, lalu kepada orang yang kaya dan akhirnya kepada laki-laki pencuri. Sedekahku tidak akan diterima!". Lalu laki-laki ini pun tertidur dan bermimpi.
Dalam mimpinya, laki-laki tersebut didatangi seorang malaikat. Dan berkata kepadanya, "Sedekahmu diterima. Sebab bisa jadi perempuan pezina itu akan berhenti berzina karena sedekahmu. Bisa jadi orang yang kaya tersebut menjadi tergugah hatinya dan menjadi dermawan setelah menerima sedekahmu. Dan bisa saja terjadi laki-laki pencuri itu sadar dari kesalahannya dan bertaubat karena sedekahmu."

(Diriwayatkan Muslim, dari Abu Hurairah dalam "Teladan Indah Rasulullah Dalam Ibadah, Ahmad Rafi 'Usmani)

Jadi, masihkah engkau banyak alasan untuk menunda-nunda sedekahmu?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, February 06, 2013

Monday, January 28, 2013

ujungkelingking - Saya bisa senyum-senyum sendiri kalau ingat kenapa saya jadi menulis artikel ini. Jum'at kemarin saya baru kepikiran untuk mengubah tampilan blog saya, di bagian komentarnya. Saya ingin komentar yang muncul terdapat tampilan 'reply'. Sebelumnya tidak ada.

Akhirnya, saya coba bertanya ke rekan-rekan sesama blogger, sekaligus searching di mbah Google. Hasilnya, dari 3 blog yang saya kunjungi, ada 3 cara via 'edit HTML' untuk menjawab permasalahan tersebut. Semuanya kode-kode sudah coba saya pasang dan semuanya, tidak berhasil.

Namun, tahukah Anda apa yang membuat saya tertawa sendiri pada akhirnya? Adalah ketika saya menyadari ke-gaptek-an saya. Ternyata saya cukup masuk pada menu Settings dan memilih Embedded pada Comment Location.

H-haa...

Kadang hidup seperti itu. Kita kerap terfokus pada solusi yang besar dan jauh. Padahal hanya perlu hal-hal yang kecil dan dekat dengan kita untuk menyelesaikannya. Banyak contoh, orang yang menderita sakit dan sudah mendatangi dokter-dokter mahal dan rumah sakit mewah, namun pada akhirnya dia bisa sembuh hanya dengan penyembuhan alternatif. Atau banyak orang yang lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah berlabel 'international' atau 'unggulan', padahal orang-orang besar dan terkenal banyak lahir dari sekolah-sekolah yang tidak diperhitungkan.

Lalu what's the point?

Kewajiban manusia hanyalah tetap berusaha dan pantang menyerah

Kabar baik sekaligus kabar buruknya, kita tidak tahu bahwa kita ditakdirkan seperti apa nantinya. Karena itu dalam hidup, segala upaya -selama itu halal- tetap harus kita tempuh. Untungnya, kita tidak ada kewajiban terhadap 'hasil' tersebut, hanya berusaha. Dan yang menarik, kita sudah mendapat kepastian bahwa Tuhan akan memberikan, ketika kita sudah berusaha.

Nah, jika kita sudah memutuskan akan berusaha, biasanya akan muncul 3 penyakit umum yang datang menyerang. Dengan mengetahui penyakit-penyakit tersebut diharapkan kita bisa menghindarinya. Berikut ini ada 3 penyakit umum dalam berusaha beserta tanda-tandanya:

Penyakit no. 1: Takut resiko

Tanda-tanda umumnya adalah suka menunda-nunda dan cenderung sering melewatkan kesempatan.

Seseorang yang berusaha untuk menjadi lebih baik, tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sebisa mungkin dia melakukannya sesegera mungkin. Toh, melakukan hal yang baik ataupun yang buruk seringkali sama-sama beresiko. Jadi, lakukan perhitungan cermat dan resiko menjadi siap untuk dihadapi.

Penyakit no. 2: Cepat puas

Tanda-tandanya bisa suka berfoya-foya dan terlalu banyak bersantai.

Katanya, manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas. Jika tidak cepat puas itu berbeda dengan berambisi, maka itu bagus. Bukankah tanda orang yang sukses itu adalah jika hari ini lebih baik daripada hari kemarin?

Penyakit no. 3: Tidak mau bertanya, eksplorasi, dan bekerjasama

Ketiganya memiliki tanda-tanda yang sama yaitu, usaha yang jalan di tempat atau hasil yang tak kunjung nampak.

Malu bertanya sesat di jalan, memang bisa menjadi pegangan. Kita belum pernah sukses, bukan? Karena itu kita perlu tahu caranya. Tentu saja dari orang-orang yang kita anggap berhasil dalam bidangnya. Atau kita mempelajarinya secara otodidak.

Sedangkan dalam hal kerjasama, dua kepala lebih baik dari satu kepala. Ini kalau keduanya sama-sama berpikir sih, hehe. Namun, adakalanya kita keliru memilih rekan. Kita bisa saja tertipu dan menderita kerugian. Kalau sudah begini, lihat lagi artikel ini dan baca Penyakit no. 1.


Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, January 28, 2013

Wednesday, July 11, 2012

ujungkelingking - Hari ini seorang teman kerja saya membeberkan rahasianya. Ya, memang, dia mendengarnya dari sebuah acara di televisi yang dipandu oleh seorang Ustadz kawakan, tapi karena saya sendiri tak pernah menonton acara tersebut, jadi bisa dikatakan bahwa teman saya itulah yang memberitahu saya. Apalagi teman saya tersebut sudah melakukannya, jauh sebelum dia mendengar ceramah Ustadz tersebut. Dan semua cita-citanya terpenuhi!

Begini caranya, (saya rumuskan dalam 3T!):

[1] Tulis!

Ya, tulis cita-cita Anda pada selembar kertas. Tulis semuanya! Dari yang jangka pendek sampai yang jangka panjang. Dari yang paling mungkin sampai yang paling tidak mungkin.
Misalnya; ingin punya rumah, lebih dari satu; ingin menjadi pengusaha sukses; ingin menjadi Novelis best-seller, dsb.

[2] Tebus!

Maksudnya adalah bahwa Anda akan "menebus" cita-cita di atas dengan beberapa syarat yang Anda tentukan sendiri. Tentu akan lebih mengena bila syarat yang Anda tetapkan adalah amalan ibadah yang secara konsisten harus Anda kerjakan.
Misalnya; sholat 5 waktu tidak boleh bolong; memperbanyak sholat malam; memperbanyak puasa Senin-Kamis, dsb.

Maka, semakin tinggi cita-cita Anda, tentunya semakin banyak dan besar syarat (baca: amalan) yang harus Anda tetapkan.

Jadi, bila pada poin yang pertama Anda beri judul "Saya ingin...", maka pada poin kedua ini Anda bisa beri judul "Saya akan..."

[3] Tempel!

Tempel lembaran tersebut di tempat yang tertutup (agar tidak tampak oleh orang lain), tapi sering terlihat oleh Anda sendiri.
Misalnya; di pintu lemari sebelah dalam, dsb.

Penjelasannya adalah, bahwa dengan seringnya kita melihat dan membaca tulisan tersebut, itu sama dengan do'a!

Wallahu a'lam.

***

note: buat Kang Afnan, matur nuwun yow atas sharing-nya, semoga bernilai ibadah. Amin.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, July 11, 2012

Saturday, June 23, 2012

ujungkelingking - Seorang pria berjalan melewati seekor gajah. Ia tiba-tiba berhenti, bingung pada fakta bahwa makhluk sebesar itu hanya ditahan oleh tali kecil yang terikat pada kaki depan mereka. Tidak ada rantai, tidak juga kandang.

Bukankah jelas, bahwa gajah itu bisa kapan saja melepaskan diri dari ikatan itu? Namun mengapa tidak mereka lakukan?

Ketika melihat seorang pelatih di dekatnya, pria tadi segera bertanya mengapa hewan-hewan ini hanya berdiri di sana dan tidak berusaha melarikan diri.

Jawab si pelatih, “Ketika mereka masih sangat muda dan jauh lebih kecil, kita menggunakan tali berukuran sama untuk mengikat mereka. Dan pada usia itu, tali sebesar itu cukup untuk menahan mereka,”

“Saat mereka tumbuh dewasa, mereka dikondisikan untuk percaya bahwa mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka percaya bahwa tali itu masih bisa menahan mereka, sehingga mereka tidak pernah mencoba untuk membebaskan diri.”

Pria itu terdiam, antara kagum dan keheranan. Hewan besar ini bisa setiap saat membebaskan diri dari ikatan mereka, tapi karena mereka percaya mereka tidak bisa, mereka terjebak disana.

Seperti gajah, banyak dari kita menjalani hidup berpegangan pada keyakinan bahwa kita tidak bisa melakukan sesuatu, hanya karena kita pernah gagal sebelumnya. Kegagalan adalah bagian dari pembelajaran.

Bukan begitu?


Sumber: www.zoom-indonesia.com
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, June 23, 2012

Saturday, June 9, 2012

ujungkelingking - Tentu biasa-biasa saja hari ini bagi Anda. Tapi bagi saya berbeda. Kalau saya bertanya kira-kira kenapa, Anda mungkin bisa dengan segera menebaknya.

Yup, hari ini, tepat 28 tahun yang lalu saya dilahirkan.

28 tahun. Sebuah perjalanan yang sangat singkat sepertinya. Namun masih banyak cita-cita yang masih nyangkut di langit. Sebut saja, rumah yang masih ngontrak; masih dengan motor yang keluaran '97; masih dengan pekerjaan dengan gaji yang masih segitu-segitu saja, bahkan seringkali minus tiap bulannya karena besar pasak daripada cagak. Dan masih banyak masih, masih yang lain.

Namun juga bila disadari, sebenarnya masih lebih banyak yang sudah saya raih -atau lebih tepatnya dianugerahkan kepada saya- sampai saat sekarang ini.

28 tahun. Saya sudah dikaruniai seorang istri, yang tenyata sanggup melakukan pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan laki-laki. Seorang istri yang mau menerima keadaan saya, apapun itu. Seorang istri yang, wonderwoman. Yang terakhir ini sih, kata istri saya sendiri. Jgagaga...

28 tahun. Dan saya juga telah dititipi amanah berupa dua orang putra. Yang paling besar berusia 2 tahun, dan yang paling kecil, baru 2 bulan yang lalu lahir. Dua putra yang membanggakan saya -sekaligus- sukses membuat saya susah tidur bila membayangkan beratnya mendidik mereka sampai dewasa nanti.

Tapi itu baru anugerah yang saya sadari, yang kongkret. Belum kenikmatan-kenikmatan lain yang abstrak, absurd, atau apapun istilahnya. Sungguh, bila kita mencoba menghitung-hitung nikmat yang diberikan kepada kita, pastilah tak akan kita sanggup menghitungnya.

28 tahun. Itu artinya, saya sudah menikmati udara gratis selama 28 tahun atau itu setara dengan kurang lebih 245.448 jam. Apa yang sudah saya lakukan selama 28 tahun itu? Tak penting lagi untuk dibahas sepertinya, karena waktu terus berjalan, sebab usia terus berkurang.

Mari coba berandai-andai.

Anggap saja saya diberi umur sampai usia 60 tahun. Itu berarti waktu yang tersisa buat saya adalah 32 tahun atau 280.512 jam.

Jika saya tidur dengan rata-rata 8 jam perharinya, berarti saya telah menghabiskan sepertiga atau 11 tahun (96.426 jam) hanya untuk ngumpulin iler! (Bayangkan sodara!!!)

Lalu bila saya (tetap) bekerja di perusahaan yang sama, yang pada usia 55 tahun harus pensiun, berarti saya akan menghabiskan waktu di belakang meja-di depan komputer selama 9 tahun atau 78.894 jam.

Maka praktis waktu kosong yang benar-benar tersisa buat saya adalah 12 tahun atau sekitar 184.086 jam saja.

Apa yang bisa saya dapatkan selama kurun waktu yang “hanya” 12 tahun itu?

Tidak ada! Bila saya tetap seperti ini saja. Tanpa ada keberanian mengambil resiko, maka apapun yang direncanakan akan berhenti, bahkan sebelum berjalan. Perjalanan satu mil dimulai dari langkah pertama!
Bukankah Allah itu tidak akan mengubah nasib kita, bila kita sendiri tak mau (mencoba) mengubahnya?

Saya (harus) yakin, bahwa bila saya mau melangkah satu langkah untuk berusaha, maka Allah akan memberikan langkah kedua.

Ah, 28 tahun saja terasa singkat. Apalagi yang hanya 12 tahun?

Bismillah...


* hanya sebuah perenungan, mudah-mudahan dapat melecut diri
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, June 09, 2012

Tuesday, January 31, 2012

Ilustrasi: Google
ujungkelingking - Bedanya (terlihat) tipis.

Tapi coba perhatikan ini, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.1, motivasi diartikan sebagai n 1 dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; 2 Psi usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya. Sedang provokasi disebut sebagai n perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan.

Definisi yang lebih sederhana saya dapatkan dari Kamus Ilmiah Populer, yang disusun oleh Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry. Disana dikatakan bahwa motivasi adalah dorongan (dengan sokongan moril); alasan; dorongan;tujuan tindakan. Sementara provokasi adalah istilah untuk menyebutkan tindakan propokasi; tantangan; usikan; pencingan; gertakan serius; penghasutan.

Kedua istilah tersebut digunakan untuk menyebut sesuatu tindakan yang sama sekali berbeda. Tapi tidak dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan sehari-hari penggunaan kedua istilah tersebut seringkali masih bias. Kita sulit mengatakan bahwa apakah seseorang itu sebagai motivator saat dia tengah berkoar-koar di tengah-tengah jalan raya. Kita juga gamang menyebut bahwa seseorang itu menjadi provokator hanya karena dia berapi-api di belakang mimbar khutbah. Atau podium. Dalam kehidupan riil, keduanya ternyata berbeda tipis.

Maka kemudian hanya ada satu tolok-ukur untuk "memvonis" seseorang itu sebagai motivator atau provokator, meskipun dalam beberapa kasus, hal ini berlaku subjektif. Yaitu, dari impact  yang ditimbulkannya!

Secara umum, motivasi akan berdampak baik, membangun dan memberi harapan baru. Berbeda dengan provokasi akan menciptakan sesuatu yang buruk, kehancuran dan kerusakan.

Mana yang lebih baik? Motivator, tentu. Maka, jadilah kita motivator-motivator yang baik, setidaknya untuk diri sendiri. Jika tidak bisa, setidaknya kita menjadi orang-orang yang bisa membedakan mana yang motivasi dan mana yang provokasi. Semoga kita selamat dengan itu.

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, January 31, 2012

Saturday, January 14, 2012

ujungkelingking - Setelah tadi salah seorang rekan Kompasianers memposting tulisannya yang berjudul Logika “Dibalik Kesulitan, Ada  Kemudahan”, saya pun akhirnya latah ikut-ikutan menulis tema yang sama.

Dalam KBBI V1.1 kesulitan (sulit) diartikan dengan sukar sekali; susah (diselesaikan, dikerjakan, dsb). Sedangkan kemudahan (mudah) terdefinisikan sebagai tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dl mengerjakan; tidak sukar; tidak berat; gampang.

Tapi ada definisi yang lebih mudah. Yaitu bahwa 'kesulitan' pada hakikatnya adalah kemudahan -yang kita belum menemukan penyelesaiannya. Sementara 'kemudahan' adalah sebenarnya hal yang sulit, hanya saja kita sudah tahu ilmunya. Satu masalah yang sama bisa berarti sulit bagi sebagian orang, tapi bisa juga hal yang sepele bagi sebagian yang lain. Contoh,

Bagi anak kelas 1 Sekolah Dasar hasil perkalian dari 5 x 5 tentu merupakan suatu persoalan yang pelik. Tapi tidak bagi Anda. Bagi anak saya, penjelasan bagaimana hujan bisa turun mungkin tak terjangkau oleh nalarnya, tapi saya bisa dengan mudah menjelaskan bagaimana hujan turun.

Karena itu kunci pembeda dari dua hal ini hanyalah pada deskripsi dari kata 'ilmu'. Dengannya, hal yang sulit bisa menjadi mudah. Tanpanya, hal yang mudah menjadi begitu sulit.

Jadi ungkapan bahwa "setelah kesulitan itu ada kemudahan", saya pikir tidaklah tepat. Karena sebenarnya, "bersama kesulitan itu ada kemudahan". Tinggal dari sisi mana posisi kita melihatnya, dari posisi orang yang berilmu atau sebaliknya.

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, January 14, 2012
Ilustrasi: shutterstock
ujungkelingking - Dulu, waktu anak kami masih berusia enam bulanan, istri saya sering menyanyikan untuknya lagu Bintang Kecil. Kemudian lama setelah itu, karena kesibukan yang semakin bertambah (halaah, sibuk opo?) dan karena kami lebih sibuk mengajari anak kami hal-hal yang lain, istri saya tak pernah menyanyikan Bintang Kecil lagi.

Nah, beberapa hari yang lalu, iseng-iseng istri saya coba menyanyikan kembali lagu tersebut. Hasilnya menarik, anak saya yang sudah hampir dua tahun itu masih ingat betul lirik lagunya! Saat istri saya melafalkan "Bintang kecil dilangit...", anak saya langsung menyahut "...tinggi,". Begitu juga saat istri saya menyanyikan "Amat banyak...", anak saya langsung bilang, "...angkasa," -tentu dengan bahasanya yang kurang begitu jelas. Tapi ini membuktikan satu hal bahwa daya rekam otak anak-anak sungguh luar biasanya.

Maka berhati-hatilah berbicara dan mengajarkan sesuatu kepada anak kita, karena dampaknya mungkin  bukan hari itu tapi bertahun-tahun kemudian saat dia dewasa dan pengajaran kita (telah) membentuk  karakternya. Termasuk dalam memperkenalkan lirik lagu, sekalipun itu lagu anak-anak. Coba perhatikan ini,

"Si Kancil anak nakal / Suka mencuri ketimun / Ayo lekas dikurung / Jangan diberi ampun..."

Sungguh tak elok rasanya bila semenjak kecil anak-anak dididik untuk anti-memaafkan. Suatu kesalahan besar bila anak-anak yang masih polos itu dipoles untuk lebih senang membalas daripada memaafkan.

Atau yang ini,

"Dua mata saya / Yang kiri dan kanan / Satu mulut saya / Tidak berhenti makan..."

Mungkin pengarang lagu ini beranggapan bahwa anak kecil yang masih dalam tahap pertumbuhan  membutuhkan asupan yang banyak. Tapi saya lebih melihatnya sebagai pengajaran untuk bersikap konsumtif. Masih banyak lagu anak-anak yang lebih bagus (baca: mendidik) liriknya. Kalaupun terpaksa harus  menggunakan lagu ini, akan lebih baik bila liriknya sedikit diganti seperti yang dilakukan oleh TK/Playgroup kebanyakan.

"Satu mulut saya / Bicara yang sopan..."

Anak -disadari atau tidak- adalah anugerah terbesar dalam hidup kita. Jaga dia. Dan lebih penting dari itu,  cetak dia untuk menjadi pribadi-pribadi yang bermanfaat bagi dunia.

Salam,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, January 14, 2012

Saturday, January 7, 2012

ujungkelingking - Beberapa waktu yang lalu saya mendapat teguran dari atasan atas keterlambatan saya dalam masuk kantor. Maklum, jarak antara rumah dan tempat kerja saya bisa sampai satu seperempat jam atau satu jam setengah dengan menggunakan motor. Dan karena terlalu sulit buat saya untuk berangkat lebih pagi, akhirnya saya memilih sedikit gambling dengan "sedikit" ngebut di jalan. Tapi toh, tetap saja saya masih sering terlambat. Bahkan untuk bulan kemarin saja, saya ada 12 kasus keterlambatan (12 hari!). Teguran-teguran semacam itu bila tidak segera diantisipasi pada akhirnya nanti akan bisa mempengaruhi penilaian terhadap kinerja seorang karyawan, bahkan bisa berimbas pada minimnya kenaikan gaji tahunan! Yah, saya hanya bisa meminta maaf waktu itu dan mengatakan akan berusaha untuk tidak terlambat lagi.

Lalu bagaimana dengan rekan-rekan kerja saya yang lainnya, yang mereka juga sering terlambat?

Uniknya, mereka tidak terkena teguran seperti saya. Lha, kok bisa? Ya bisa saja, sebab mereka tidak pernah checklock seperti saya. Hehehe...

Maka kemudian terdapat opsi seperti ini; checklock meski terlambat dan kena teguran, atau tidak checklock dan selamat. Dan mungkin banyak rekan-rekan saya yang bimbang dengan dua pilihan itu. Tapi saya? Whatever-lah. Saya akan tetap checklock meski mungkin saya akan tetap terlambat.

Benar apa yang dikatakan seorang kawan; "Jika memulai pekerjaan saja sudah tidak jujur, bagaimana dengan pekerjaannya?"

Selamat pagi,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, January 07, 2012

Tuesday, November 29, 2011

ujungkelingking - Mengawali sebuah hari yang spesial, entah itu tahun baru atau tanggal kelahiran, setiap kita pasti memiliki harapan-harapan. Mungkin menjadi lebih sukses, menjadi lebih banyak rejekinya, atau harapan-harapan lain yang intinya adalah menjadikan diri kita berada pada level berikutnya yang lebih baik.

Dan untuk memenuhi harapan-harapan itu, kita umumnya kemudian menerapkan “aturan-aturan” -yang mungkin muluk-muluk- yang mengharuskan kita melakukan ini-tidak boleh melakukan itu. Aturan-aturan pendisiplinan diri, sebut saja begitu. Aturan-aturan tersebut bisa saja sangat berhasil. Tapi tahukah anda, aturan-aturan tersebut hanya akan menjadi sampul buku kosong atau -istilah yang lebih umum- hangat-hangat tahi ayam bila tidak dibarengi dengan aturan yang satu ini,

Konsistensi!

Ya, aturan yang muluk-muluk tanpa konsistensi hanya akan menjadi sampah di belakang. Dengan konsistensi akan membuktikan kita mampu menjadi pribadi yang lebih baik atau tidak.

Dan, jika anda membuat aturan-aturan yang cukup sederhana dan anda konsisten dengan aturan tersebut, maka anda sudah menjadi jauh lebih baik dengan itu.

Selamat pagi,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, November 29, 2011

Saturday, November 26, 2011

ujungkelingking - Pagi ini, saya berangkat kerja pada jam yang sama seperti hari-hari biasanya. Tapi di tengah jalan saya terjebak macet tidak seperti biasanya. Saya tidak bisa melihat di depan ada apa pastinya, tapi kalau tidak salah mungkin ada acara karnaval anak-anak TK daerah situ.

Tetap disitu, saya akan tetap terjebak macet. Akhirnya saya memilih jalan yang lain, memutar, dengan harapan saya bisa lolos dari kemacetan tersebut. Tapi dasar apes, di rute kedua itu saya malah terjebak kemacetan yang lebih parah dari jalan yang pertama. Alhasil, saya terlambat tiba di kantor.

Apa pilihan saya salah?

Bila langsung melihat hasilnya, tentu anda akan mengatakan saya tolol. Lha wong di rute kedua lebih macet kenapa milih jalan tersebut? Lebih baik kan tetap di rute pertama?

Hehe, sayangnya dalam hidup kita tak pernah bisa langsung tahu hasilnya sebelum dilakukan. Diprediksi mungkin bisa, tapi tak menjamin keakuratannya. Dalam kasus saya di atas, saya tidak menyesal dengan pilihan saya untuk melalui rute kedua. Karena pilihan saya yang salah berdasar pemikiran saya yang benar. Saya berpikir seperti ini;

  • Bila saya tetap berada di jalan pertama, sudah pasti saya akan terjebak macet. Mungkin 10 menit, atau bisa jadi lebih.
  • Bila saya mencoba alternatif lain, yaitu rute kedua, saya mungkin akan terjebak lebih parah lagi, tapi tentu ada kemungkinan sebaliknya. Mungkin saya bisa lolos dari kemacetan.
Ini yang saya sebut dengan "berpikir benar". Dan bagi saya, lebih baik memilih salah karena berpikir benar daripada pilihan benar karena berpikir salah
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, November 26, 2011

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!