Monday, October 31, 2011

ujungkelingking - Ibrahim alaihisalam adalah salah seorang nabi yang terkenal kedermawanannya. Bahkan dikisahkan, setiap hari Ibrahim mengajak tetangga atau orang yang ditemui di jalan untuk makan bersama keluarganya. Ihwal tentang kedermawanan Ibrahim alaihisalam tak luput membuat orang-orang di sekitarnya terkagum-kagum. Seseorang pernah menanyakan hal tersebut kepadanya. Jawab Ibrahim, bahwa hal itu dilakukannya karena sangat cintanya kepada Allah, Sang Pemberi Rizqi. Bahkan, terucap oleh Ibrahim seandainya Allah subhanahu wa ta'ala berkenan mengaruniakan kepadanya seorang anak, dan anak tersebut harus dikorbankan maka Ibrahim akan melakukannya. Waktu itu Ibrahim alaihisalam belum memiliki anak.

Nah, ucapan Ibrahim ini rupanya direspon oleh Allah. Istri Ibrahim akhirnya mengandung seorang anak yang kemudian diberi nama Ismail yang kelak akan melanjutkan tugas ayahnya. Kemudian datanglah perintah Allah untuk menyembelih Ismail, putra satu-satunya yang diharap-harapkannya sejak dahulu.

Meski akhirnya keduanya lulus dari ujian Allah dan kejadian itu menjadi cikal-bakal pelaksanaan ibadah Qurban, tapi yang lebih penting dicatat dalam peristiwa ini adalah, bagaimana kita pandai-pandai menjaga lisan. Jangan sampai kita pada akhirnya "termakan omongan sendiri". Memang kebetulan kisah di atas terjadi pada seorang nabi yang memiliki ketinggian sifat lebih dari manusia biasa macam kita, lalu bagaimana kalau hal yang sama terjadi pada kita? Sanggupkah kita? Alih-alih mentaati perintah, jangan-jangan kita malah lebih memilih lari dari melaksanakannya.

Mungkin karena itulah Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam mengajarkan kepada kita untuk "berbicara yang baik, atau diam".

Bismillah
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, October 31, 2011

Monday, October 24, 2011

ujungkelingking - Sabtu kemarin, saya dan istri membawa putra kami untuk periksa ke rumah sakit. Tidak sakit sebenarnya, cuma butuh vitamin dan suplemen untuk menunjang aktivitasnya yang cukup berlebih.

Kami datang ke rumah sakit jam 17.30 WIB, sedangkan jadwal dokternya jam 18.00 WIB. Biar tidak terlalu lama nunggu, pikir saya. Setelah melakukan pendaftaran, kami diberi nomor antrian, 39. Wah, jauh juga, kata istri saya. Saya pun menghitung-hitung, bila satu orang dilayani sampai 5 menit, berarti butuh waktu 3 jam-an baru sampai ke nomor antrian saya. Saya tidak punya waktu sebanyak itu, sebab satu setengah jam lagi saya harus menghadiri rapat bapak-bapak di kompleks tempat saya tinggal, sedangkan perjalanan pulang butuh waktu kurang-lebih setengah jam. Tapi agar tidak membuat resah istri, akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti rapat tersebut.

Tak lama, suster jaga kemudian memanggil nama anak kami. Saya heran, lho kok sudah dipanggil? Padahal sebelum kami datang sudah ada beberapa orang tua membawa anak-anak mereka.

“Pak, nanti kalau ada orang tanya bapak nomor antrian berapa, dijawab saja nggak tau atau lupa.” kata suster itu kemudian.

Saya bingung, “Lho, kenapa bu?”

“Soalnya mereka-mereka itu sudah daftar sejak tadi pagi, terus pulang. Kalau bapak bilang nomornya bapak, pasti nanti diserobot terus.”

Olala… saya baru ngeh.

Memang tidak fair kalau saya yang datang sejak tadi dan langsung antri, diserobot dengan seenaknya oleh orang yang baru datang karena sudah daftar tadi pagi.

Menurut Anda bagaimana?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, October 24, 2011

Friday, October 21, 2011

ujungkelingking - Tadi pagi sempat terlibat percakapan dengan seorang atasan saya. Obrolan biasa dan ringan. Masalah kejadian di sepanjang perjalanan ke kantor, sampai tentang pengemis-pengemis yang bertebaran di jalan-jalan. Sampai kemudian atasan saya mengatakan bahwa dirinya tidak suka bersedekah kepada pengemis-pengemis itu.

Lho kok?

Ternyata, menurut atasan saya bahwa pengemis-pengemis itu sejatinya adalah orang-orang yang berkecukupan. Mereka punya rumah yang cukup bagus, bahkan, ada yang memiliki kendaraan roda empat!

Terlepas benar-tidaknya informasi itu, pada akhirnya menimbulkan “keraguan” dalam benak beberapa orang (termasuk kita?) untuk bersedekah. Mereka sudah kaya kok di-sedekahi, begitu pemikiran yang muncul. Lebih baik bersedekah kepada orang yang betul-betul membutuhkan, timpal yang lain. Tapi darimana kita tahu bahwa orang tersebut memang benar membutuhkan atau pura-pura membutuhkan? Ya, lebih amannya disurvey dulu. Alamak… kita mau ngasih berapa juta sih? Lagian kapan mau sedekahnya kalau survey-survey melulu?

Keraguan yang sama nyatanya juga pernah mampir dalam pikiran saya. Saat itu saya bermaksud memberikan sedikit recehan kepada sekelompok anak jalanan di suatu perempatan. Tiba-tiba terpikir oleh saya, wah jangan-jangan sama anak-anak ini uang itu akan dibelikan hal-hal yang gak penting. Rokok, misalnya. Padahal saya tidak suka melihat orang merokok. Lha ini malah saya yang membelikan rokok? Atau bahkan dibelikan minuman keras???

Tapi akhirnya, uang itu tetap saya berikan ke anak-anak itu. Kenapa? Karena saya tak mau pusing dengan siapa orang yang saya beri. Saya juga tak ambil peduli mau diapakan uang tersebut. Saya juga tak mau repot-repot survey sana-sini hanya untuk sekedar “menentramkan” hati saya. Agama saya mengajarkan agar kita tidak perlu repot-repot mementingkan “hasil”, tapi fokus saja pada “usaha”. Andai hasilnya menyimpang, itu sudah bukan urusan kita lagi. Kita sudah memberi, dan ikhlas. Itu cukup. 

Innamal a’maluu bin niyah…
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, October 21, 2011
ujungkelingking - Dalam setiap lomba menulis, pada salah satu syaratnya pasti dicantumkan bahwa karya harus orisinil, atau tulisan harus asli karya sendiri dan sebagainya. Tapi tidak pernah disebutkan bahwa ide harus orisinil. Kenapa?

Karena memang tidak ada ide yang orisinil.  Ide, bagaimanapun juga –meminjam istilah Pak Bas*- sudah tersedia di langit. Kita cuma perlu mengambilnya. Itu saja.

Karena itulah kalau kita melihat garis besar sebuah plot cerita atau karya tulis, kita akan menemukan banyak yang memiliki persamaan dengan karya penulis lain. Dari kisah dua orang yang jatuh cinta tapi tidak direstui orang tua –kemudian lari, atau sepasang kekasih yang sedang punya masalah lalu akhirnya salah satu dari mereka memilih pergi untuk menenangkan diri, dan kemudian bertemu orang lain dan jatuh cinta. Atau dua orang yang asalnya saling membenci tapi pada akhirnya karena suatu peristiwa menjadikan mereka menyadari ketertarikan satu sama lain. Nah, cerita-cerita semacam ini bertebaran dimana-mana. Dari satu ide yang sama lalu dikembangkan dengan cara penulisan dan tehnik yang sama sekali berbeda.

Inilah yang sebenarnya disebut sebagai “karya orisinil”. Kita bebas menentukan ide yang manapun tanpa harus takut dianggap melakukan plagiat. Karena itu, jangan minder kalau ide yang akan kita tulis sudah keduluan orang lain. Unggulkan karya Anda dengan tehnik yang unik, bedakan melalui gaya penulisan yang khas. Caranya?

Terus menulis.

Bismillah.




*http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/17/sastrawan-sunaryono-basuki-saya-ini-tukang-ketik/
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, October 21, 2011

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!