Showing posts with label RENUNGAN. Show all posts
Showing posts with label RENUNGAN. Show all posts

Saturday, May 10, 2014

ujungkelingking - Para Nabi Pernah Berbuat Dosa?


Alhamdulillah, saya masih diberikan kesempatan untuk mosting satu artikel setelah sebelumnya absen beberapa hari.

Mudah-mudahan kita semua dikaruniai keselamatan, kesehatan, ilmu yang bermanfaat dan rejeki yang berkah. Aamiin.

***

Kemarin ada sebuah postingan di salah satu sosmed, yang menulis bahwa untuk menyampaikan pesan kebaikan kita tidak perlu harus menjadi baik se-utuhnya. Penulis berpendapat demikian dengan dasar fakta bahwa ternyata para nabi-pun juga pernah melakukan dosa. Karenanya jika untuk menyampaikan pesan kebaikan harus menjadi manusia suci terlebih dahulu, maka agama ini tidak akan pernah tersebar.

Penulis juga menyebut beberapa nabi yang pernah berbuat dosa, diantaranya:

  • Nabi Adam pernah melanggar larangan Tuhannya. Yaitu ketika dilarang untuk memakan buah khuldi
  • Nabi Musa pernah membunuh
  • Nabi Yusuf pernah berhasrat untuk berzina dengan istri pembesar Mesir
  • Nabi Ibrahim pernah berbuat syirik. Yaitu ketika menganggap bintang, bulan dan matahari sebagai tuhan 
  • Nabi Ibrahim pernah meragukan ke-Esaan Allah. Yaitu ketika Ibrahim bertanya kepada Tuhannya, "Bagaimana Engkau menghidupkan orang yang telah mati?"
  • Nabi Ibrahim pernah berbohong sebanyak 3 kali. Yaitu ketika diajak kaumnya untuk berburu dan dia mengatakan, "Aku sakit"; dan ketika dia ditanya tentang siapa yang menghancurkan semua berhala-berhala mereka, Ibrahim menjawab, "Berhala yang paling besar itulah pelakunya"; dan ketika sang Raja bertanya kepadanya tentang Sarah (istrinya), Ibrahim menjawab, "Ini adalah saudariku"
  • Nabi Muhammad pernah mengabaikan seseorang yang tua dan buta
***

Nah, pada kesempatan ini ijinkanlah saya untuk menyampaikan beberapa argumen tentang hal-hal di atas.


Satu, mengenai teknis berda'wah

Memang benar bahwa setiap kita punya kewajiban untuk meyampaikan pesan agama. Dan benar pula bahwa kita tidak perlu harus menjadi kiai atau ustadz terlebih dahulu untuk berda'wah. Namun kita harus juga memperhatikan ayat berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan yang tidak kalian perbuat?"
"Sungguh besar kemurkaan Allah jika kalian mengatakan yang tidak kalian kerjakan"
[Ash-Shaff: 2-3] 

Maka yang penting untuk digarisbawahi di sini adalah bahwa ketika kita menyuruh seseorang untuk melakukan suatu kebaikan, maka kita harus sudah menjadi pelaku kebaikan itu sendiri. Minimal kita sedang mencoba melakukannya.

Sungguh lucu ketika kita menyuruh orang lain mengerjakan shalat sementara kita sendiri tidak pernah melakukannya. Amat konyol jika kita menda'wahi setiap muslimah untuk berhijab sementara istri atau putri-putri kita masih mengumbar auratnya. Jika ini yang terjadi maka pesan yang ingin kita sampaikan akan langsung gugur.


Dua, mengenai para Nabi yang dikatakan pernah berbuat dosa

Ibnu Taimiyyah dan mayoritas ulama' rahimahumullah menyatakan bahwa seluruh nabi dan rasul adalah ma'shum (terjaga dari perbuatan dosa). Ada catatan pula bahwa yang dimaksud dengan ma'shum di sini bisa berarti memang tidak melakukan dosa tersebut, atau bisa berarti melakukannya namun akan langsung diluruskan oleh Allah subhanahu wa ta'alaa.

Adapun mengenai beberapa "dosa" para Nabi di atas, berikut catatan dari saya.

Adam melanggar perintah Tuhan

  • Pada saat melakukan pelanggaran itu, Adam belum menjadi seorang Nabi. Adam baru diangkat menjadi Nabi setelah diturunkan ke bumi. (Thaahaa: 122)
  • Adam lupa. (Thaaha: 115)
  • Kesalahan ijtihad. Maksudnya, yang dilarang adalah pohon yang ini, yang dimakan adalah pohon lain yang sejenis. Atau, yang dilarang adalah mendekatinya sedang yang dilakukan adalah memakannya. (Al-Baqaraah: 35; Thaaha: 121)

Musa membunuh

  • Pada saat itu Musa belum diangkat menjadi Rasul. Musa baru dipilih oleh Allah setelah dalam pelariannya dan bertemu Nabi Syu'aib alaihissalam dan menikah dengan putrinya. (Thaaha: 11-13)

Yusuf berniat berzina

  • Dalam surah Yusuf: 24 memang dikatakan bahwa Yusuf-pun sebenarnya ada niatan untuk mengikuti ajakan istri tuannya itu. Tapi baru sebatas niat. Dan niat yang buruk BELUM DICATAT SEBAGAI DOSA, kecuali jika sudah benar-benar dilakukan.

Ibrahim syirik

  • Ibrahim adalah seorang nabi yang cerdas dan kritis. Ucapannya yang mengatakan pada bintang "Ini adalah Tuhanku" adalah sebagai ajakan berpikir karena kaumnya pada waktu itu adalah penyembah bintang. Terbukti ketika bintang itu tenggelam Ibrahim berkata lagi, "Aku tidak suka sesuatu yang menghilang". Maksudnya, kalau ia tidak abadi kenapa dianggap sebagai tuhan? Bahkan ketika bulan dan matahari pada akhirnya juga terbenam, Ibrahim mengatakan "Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan". (Al-An'am: 76-78)

Ibrahim meragukan ke-Esaan Allah


وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي 

"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman, "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab, "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)."
[Al-Baqaraah: 260]

  • Pertanyaan yang diajukan Ibrahim bukanlah "Bisakah Engkau menghidupkan...", akan tetapi "Bagaimana Engkau menghidupkan...". Pertanyaan "bagaimana" bukan menunjukkan keraguan, akan tetapi mempertanyakan cara, proses atau teknisnya. Sebagai seorang yang kritis, masuk akal jika yang ditanyakan oleh Ibrahim adalah detail-nya.

Ibrahim berbohong 3 kali 

  • Penyataan "aku sakit" belum tentu menunjukkan sakit secara fisik. Ibrahim menggunakan kata yang sifatnya ambigu, sehingga sakit di sini bisa diartikan sakit (hati) melihat kelakukan kaumnya.
  • Pernyataan "berhala yang paling besar itulah pelakunya" adalah sindiran buat kaumnya, karena dengan jawaban Ibrahim itu mereka pasti akan membantah bahwa patung berhala itu kan tidak bisa melakukan apa-apa. Dengan ini Ibrahim akan bisa memasukkan unsur da'wahnya bahwa kalau berhala itu tidak bisa melakukan apa-apa kenapa terus disembah?
  • Yang dimaksud Ibrahim dengan "ini adalah saudariku" adalah saudara seiman. Bukankah sesama mukmin itu bersaudara? Dan jawaban ini dipakai oleh Ibrahim untuk menyelamatkan Sarah karena raja tersebut dikenal suka merebut istri orang.

Nabi Muhammad mengabaikan orang yang tua dan buta


Menurut riwayat Ibnu Abbas, ketika itu Rasulullah sedang menghadapi beberapa pemuka kaum Quraisy dalam rangka penyampaian risalah Islam.

Pada waktu itu datanglah Abdullah bin Ummi Maktum, seorang laki-laki yang tua dan buta. Dia memohon kepada Nabi agar diajarkan Islam kepadanya. Rasulullah menimbang lebih besar yang mana manfaatnya. Penyampaian Islam kepada pemuka Quraisy atau kepada laki-laki buta ini.

Dalam ilmu ushul/fiqih kita akan menemukan kaidah "mengambil yang terbaik di antara dua hal yang baik". Maka Rasulullah memilih tetap menyampaikan da'wah kepada pemuka Quraisy.

Jadi apa yang dilakukan oleh Rasulullah bukan hal yang salah sebenarnya. Harapannya jika para pemuka ini mau memeluk Islam, bisa dipastikan kaumnya yang lain akan mengikuti. Maka Rasulullah mengabaikan laki-laki tersebut.

Namun Allah tetap menurunkan ayat-Nya dari surah 'Abasa, "Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling."

Maka Rasulullah segera menyadari apa yang terjadi dan segera dicarinya Ibnu Ummi Maktum dan memperkenankan apa yang dimintanya. Sejak saat itu dia menjadi seseorang yang sangat disayang oleh Rasulullah. Bahkan setiap kali bertemu, Rasulullah selalu berseri wajahnya dan jika memanggilnya, Rasulullah akan mengatakan,

"Wahai orang yang telah menjadi sebab satu kumpulan ayat turun dari langit kepadaku."


Wallahu a'lam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, May 10, 2014

Monday, April 21, 2014

ujungkelingking - Raja yang Bodoh dan 3 Kata Ajaib


Tersebutlah dalam sebuah hikayat, tentang sebuah negri yang entah di mana. Negri itu amat kaya dan makmur. Rakyatnya hidup dengan tenang dan damai.

Namun ada satu hal yang amat menggelisahkan rakyat di negri tersebut. Negri itu dipimpin oleh orang yang sangat bodoh. Ia sama sekali tidak mengerti ilmu kenegaraan atau ilmu-ilmu pemerintahan yang lain. Inilah yang membuat pihak istana khawatir. Sudah banyak guru dan orang bijak yang didatangkan dari segenap penjuru negri tersebut demi untuk mengajari sang raja. Namun tidak juga membuahkan hasil.

Akhirnya berdasarkan rapat dari para penasehat istana, dibuatlah sebuah sayembara. Sayembara itu kurang lebih berbunyi, barangsiapa yang bisa membuat sang raja pandai dalam waktu yang singkat akan diberikan imbalan yang sangat banyak.


Singkat cerita, datanglah seorang pemuda dari desa yang cukup terpencil jauh dari hingar bingarnya kota kerajaan. Si pemuda menyatakan kesanggupannya untuk membuat sang raja pandai dalam waktu singkat. Maka dipersilahkanlah ia menemui sang raja.

Kepada sang raja, si pemuda membisikkan 3 buah kata. Si pemuda menyebut 3 kata itu dengan 3 kata ajaib. Karena jika sang raja menyebutkan kata-kata tersebut, raja akan terlihat pandai. Tiga kata itu adalah "AKU SUDAH TAHU".

Semenjak itu setiap kali ada pertanyaan dari para penasehatnya, sang raja selalu menjawab, "Aku sudah tahu". Dan para penasehatnya-pun menganggap sang raja memang sudah tahu.

Tiga kata ajaib
Image: merdeka.com

Sampai suatu ketika, seorang tilik-sandi kerajaan menginformasikan bahwa ada pergerakan pasukan dari kerajaan musuh. Buru-buru sang jendral menghadap sang raja untuk memberitahukan hal ini.

"Yang mulia," kata sang jendral. "Ada informasi bahwa pasukan kerajaan musuh sedang bersiap-siap di gerbang kota."

Jawab sang raja, "Aku sudah tahu."

"Lalu apa yang harus kita lakukan, yang mulia?" Tanya sang jendral lagi.

"Aku sudah tahu." Jawab sang raja singkat. Sang jendral pun mengira bahwa sang raja memang sudah menyiapkan strateginya.

Akhirnya, penyerbuan oleh pasukan musuh itu benar-benar terjadi. Pihak kerajaan yang memang tidak menyiapkan strategi apa-apa akhirnya hanya bisa menyerah tanpa perlawanan. Sang raja kemudian ditawan, dan kerajaan itu resmi direbut oleh musuh.

Sumber: unknown

***

Pesan moralnya...

  1. Seorang pemimpin yang bodoh, bisa dengan mudah mencelakakan rakyatnya
  2. Orang yang sok tahu, pada akhirnya dia sendiri yang akan celaka
Maka, jika kita menjadi seorang pemimpin, jadilah seorang pemimpin yang tahu. Jika kita memilih seorang pemimpin, pilihlah seorang pemimpin yang tahu. Dan jika kita ternyata tidak menjadi apa-apa, jangan jadi orang yang sok tahu.

Selamat sore.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, April 21, 2014

Saturday, April 5, 2014

ujungkelingking - Hati-Hati, Membanggakan Anak Bisa Jadi Suatu Bentuk Kesombongan


Pelajaran berharga ini saya dapatkan dari blognya Insinyur Pikun (kerikilberlumut.com). Sebuah peringatan yang keras buat saya -sebagai orangtua- yang (terlalu) membanggakan anak-anaknya.

Anak adalah karunia yang tak ternilai harganya. Ia adalah sebuah pelipur lara dan pereda duka. Bahwa ketika sang ibu harus berjuang di antara hidup dan mati untuk melahirkannya, bahwa sang ibu harus menghadapi penderitaan yang "bertingkat-tingkat", maka ketika sang anak terlahir ke dunia ini dengan selamat, lenyaplah segala kelelahan dan kesakitan itu. Musnah, ditelan tangisannya yang memecah dunia.


Seiring bertambah usianya, semakin tampaklah kepintarannya. Semakin terlihatlah kecerdasannya dalam menangkap hal-hal apa saja yang ada di sekelilingnya. Bahagianya sang orangtua ketika sang bayi mulai bisa mengucapkan "a" dengan lucunya, menjadi lebih bahagia lagi ketika ia sudah sanggup melafalkan "ayah" dan "mama".

Seiring pengajaran dari bundanya, sang anak kemudian mulai dapat membaca. Dari sekedar membedakan huruf a dan e, sampai kemudian membaca satu kata demi satu kata. Kepandaian ini terus meningkat hingga sang anak dapat membaca satu kalimat utuh dan menceritakan satu paragraf cerita dengan indah.


Bangganya kita, orangtua. Sampai-sampai pada setiap orang yang ditemui kita bercerita. Betapa cerdas pikirannya, betapa bagus akhlaknya.

Tapi kita lupa...

Tak semua orangtua seberuntung kita. Bahkan, tidak semua orang berkesempatan menjadi orangtua.

Betapa menggebunya kita menceritakan kelakuan lucu anak kita di hadapan mereka yang masih (dan masih) berharap dikarunia seorang anak...


Anak, "hanyalah" harta titipan


Seorang anak adalah karunia dari Dia Yang Maha Memiliki. Anak, hakikatnya sama halnya seperti rumah, kendaraan, perhiasan, kebun, usaha, dan harta kita yang lainnya. Maka ketika kita dilarang untuk bersikap pamer dan sombong atas harta yang kita miliki, pun begitu terhadap karunia-Nya yang berupa anak-keturunan.

Harus kita pahami bahwa kepandaian yang dimiliki anak bukanlah murni "produk" kita. Kita hanya perantara saja. Ilmu itu diberikan langsung oleh Allah kepada anak kita. Sama seperti harta kita lainnya yang besar bukan melulu karena kerja keras kita. Ada kehendak Dia di sana. Jadi menyombongkan sesuatu yang bukan milik kita adalah sesuatu bodoh sekaligus konyol.

Bahwa bersyukur atas kecerdasan yang dikaruniakan Allah kepada anak kita, itu harus. Namun membangga-banggakannya kepada orang lain, ini yang harus dikoreksi.

Maka saya sependapat dengan apa yang dikatakan mas Insinyur Pikun bahwa kebanggaan terhadap anak bisa jadi adalah bentuk dari sikap jumawa (kesombongan) yang terselubung.

Hati-hati.

Numpang narsis
Ngomongin anak, yang tampil foto'e buapak'e...
(Hasil jepretan Zaki)

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, April 05, 2014

Tuesday, March 25, 2014

ujungkelingking - Manusia, dan Konsep Hukum Tuhan


Menyambung tulisan sebelumnya tentang manusia, dan potensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, bahwa dalam fungsinya manusia sebagai mandataris (pelaksana tugas), Allah telah memberikan konsep-konsep untuk dipatuhi manusia.

Bahwa kemudian manusia memang diberikan kewenangan untuk melakukan segala sesuatunya untuk perbaikan dirinya dan lingkungannya, itu benar. Namun tetap dengan catatan bahwa langkah-langkah yang diambilnya adalah tanpa melanggar batas-batas konsep ilahi tersebut.

Konsep yang dimaksud oleh sang Khatib adalah hukum yang lima, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Namun jika mau diperingkas sebenarnya cuma ini saja: 

  • Wajib dan sunnah, berarti kerjakan. 
  • Haram dan makruh, berarti tinggalkan.

Maka jika mau dipermudah, konsep hukum yang lima itu pada akhirnya hanya akan menjadi 2 kategori saja. Halal dan haram. Baik dan buruk. Ibadah dan maksiat. Putih dan hitam.


Grey area, dan bagaimana menyikapinya


Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia yang serba dinamis ini kita kemudian dihadapkan pada "kategori ketiga". Kita biasa menyebutnya grey area atau wilayah abu-abu. Yaitu suatu keadaan yang sukar diputuskan -dan menjadi perdebatan- ia masuk ke dalam kategori halal atau haram? Hal ini bisa dikarenakan ilmu kita yang belum memadai, atau memang lingkungan mendukung untuk menutup-nutupi kebenaran hukum tersebut.

Dalam menyikapi wilayah grey area ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sudah memberikan batasannya.

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ
وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ،
فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (absurd) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan."
[Bukhari, Muslim]

*Sengaja hadits ini saya potong sampai di sini, karena lebih panjang pada versi lengkapnya.

Dari konteks yang tersirat kita menjadi mengerti bahwa wilayah grey area sebenarnya lebih cenderung kepada haram. Karena itu, mereka yang mampu menjauhi sesuatu yang syubhat adalah termasuk orang-orang yang paling dibenci oleh iblis. Dan beruntunglah orang-orang di kelompok ini.

Jika perbuatan haram itu kita analogikan sebagai jurang, maka hal-hal yang termasuk ke dalam grey area ini adalah ibarat kita bermain-main di pinggir jurang. Sungguh sesuatu yang amat berbahaya. Sebab ketika sekejap kita lengah, jatuhlah kita.

Maka dari penjabaran Rasulullah di atas, kita paham bahwa sejatinya grey area itu tidak pernah ada. Yang ada hanyalah hitam atau putih. Diridhai oleh Allah atau dimurkai oleh-Nya. Cara pandang kitalah yang nyatanya memunculkan adanya istilah tersebut.

Maka kalau kita kembali pada konsep di atas, bisa kita ringkaskan menjadi, 

  • Halal, berarti silahkan dikerjakan.
  • Haram dan syubhat, berarti harus dihindari.

*Disarikan dari khutbah Jum'at, 14 Maret 2014
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, March 25, 2014

Thursday, March 13, 2014

ujungkelingking - Ada di Mana Tingkatan Imanmu?


Tulisan ini terinspirasi dari kejadian sepulang dari kantor, kemarin sore.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wa salaam pernah bersabda:

"Iman itu ada 70-an cabang, atau 60-an cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha illallah. Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (sesuatu yang mengganggu) dari jalanan. Sedangkan rasa malu adalah salah satu cabang dari keimanan."
(Riwayat Muslim)

Untuk dapat memahami apa yang ingin disampaikan oleh hadits di atas, ijinkanlah saya untuk membuat sebuah analogi tentang hal ini.

  • Soal yang paling sulit adalah soal untuk kelas 6
  • Soal yang paling mudah adalah soal untuk kelas 1
Logikanya, kalau kita sudah di kelas 6, tentu mudah dong untuk mengerjakan soal kelas 1. Nah, pertanyaan saya, jika kita masih tidak mampu mengerjakan soal untuk kelas 1, maka ada di kelas berapa kita?

Gangguan di jalan
Image: koran-sindo.com

Hal yang sama bisa kita terapkan pada hadits di atas.

  • Tingkatan iman yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha illallah
  • Tingkatan iman yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalanan

Maka pertanyaannya sekarang, jika untuk menyingkirkan duri (gangguan) dari jalanan saja kita tidak mau atau tidak tergerak untuk melakukannya, maka ada di mana tingkatan iman kita?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, March 13, 2014

Wednesday, March 12, 2014

ujungkelingking - Karunia Itu Bernama Musibah


(+) Judulnya ada yang aneh nih. Salah ya mas, mestinya kan  "karunia" itu nikmat, kok ini "karunia" tapi musibah?

(-) Ah, nggak kok. Memang disengaja. Mudahan-mudahan setelah membaca postingan ini, baik saya ataupun teman-teman punya cara baru untuk "berkenalan" dengan musibah.

***

Sebuah kisah tentang musibah


Ada satu kisah nyata, yang melibatkan orang yang cukup dekat dengan saya.

Di kampung anu, ada seorang laki-laki yang senang sekali berkata-kata kotor dan menyakiti orang lain. Tak terhitung berapa orang yang telah sakit hati karena kata-katanya. Sampai suatu ketika laki-laki ini bertengkar dengan seorang ibu dan mengeluarkan kata-kata yang sangat menusuk hati.

Si ibu dengan reflek membalas omongannya dengan mengatakan bahwa andai laki-laki tersebut tertabrak motor, maka akan lumpuh kakinya.

Saya tidak tahu apakah kemudian laki-laki ini jadi tertabrak motor atau tidak, namun singkatnya, laki-laki ini menderita stroke yang melumpuhkan seluruh tubuhnya. Semua anggota badannya tak lagi bisa digerakkan bahkan untuk sekedar berbicara. Bermacam pengobatan telah diupayakan, namun kesembuhan belum juga nampak.

Yang aneh adalah, meski susah berbicara, namun bibirnya mudah sekali untuk menyebut nama si ibu yang pernah disakitinya. Maka sambil menangis, laki-laki ini meminta maaf kepada si ibu. Dan dengan ikhlas ibu ini mendoakan kesembuhan untuk laki-laki tersebut.


Jika teman-teman pernah membaca postingan saya tentang One Minute Awareness, barangkali kisah ini adalah salah satu contohnya, sebab kemudian melalui bantuan seorang ulama, kepada laki-laki ini coba dilakukan semacam terapi pengobatan. Untuk kesembuhan penyakitnya, juga untuk kesembuhan spiritualnya.

Sekarang, laki-laki tersebut sudah sembuh dari stroke-nya. Pergaulan dengan sesama tetangga semakin membaik. Sudah tak pernah lagi kata-kata kotor dan menyakitkan keluar dari mulutnya. Dan yang menarik, setiap datang saat shalat 5 waktu, laki-laki ini tak pernah ketinggalan untuk berjama'ah di masjid!


Musibah, tentukan mana fakta lama dan mana fakta baru


Melihat kenyataan dari kisah di atas, pada akhirnya baik orang lain maupun laki-laki tersebut akan mengatakan bahwa beruntung dulu ia diberi penyakit stroke. Jika tidak, barangkali sampai sekarang ia masih akan menjadi sampah masyarakat di kampung tersebut.

Dan dari urutan kejadian-kejadian dalam hidup ini, kita kemudian perlu membaginya ke dalam dua kategori besar. Kedua kategori itu kita sebut saja "Fakta lama" dan "Fakta baru".

Fakta lama, adalah kejadian (baca: musibah) yang baru saja kita alami. Meski baru kita alami, tapi tetap sebut itu sebagai fakta lama. Karena yang akan kita sebut sebagai fakta baru adalah kejadian berikutnya yang sangat mungkin dapat mengubah cara pandang kita terhadap fakta lama.

Maka di sini kita belajar untuk tidak menilai fakta lama SEBAGAI fakta baru. Akan tetapi yang harus kita lakukan adalah menilai fakta lama DENGAN fakta baru.

Penjelasannya seperti ini,

Jika kita terbiasa menilai fakta lama sebagai fakta baru, maka setiap kita ditimpa musibah, yang akan menjadi fokus utama kita adalah hakikat musibah tersebut, bukan maknanya. Karena yang kita rasakan hanyalah hakikatnya (kenyataan bahwa musibah itu terjadi) maka yang akan lahir kemudian adalah perasaan sakit hati, kecewa, marah, dan pertanyaan-pertanyaan klise seperti misalnya "kenapa harus terjadi?", "kenapa harus sekarang?", "kenapa harus pada saya?", dsb. Dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan terjawab sebelum kita menemukan, fakta baru.

Akan tetapi bila kita menilai fakta lama tersebut dengan sudut pandang fakta baru, maka yang akan muncul adalah perasaan tenang karena selalu khusnudzan terhadap segala sesuatu. Yakin bahwa di suatu waktu yang akan datang Allah telah menyiapkan hikmah-kebaikan dari musibah yang kita alami saat ini.


Menunggu fakta baru tiba


Pertanyaan yang jelas akan muncul adalah, bagaimana kita bisa menilai fakta lama dengan sudut pandang fakta baru sedangkan fakta baru tersebut belum datang?

Jawabannya memang harus menunggu fakta baru tersebut muncul.

Karena itulah saya katakan bahwa (keyakinan) ini bisa menimbulkan perasaan tenang sebab kita yakin bahwa ketika fakta baru itu datang, pernyataan yang akan muncul adalah, "Oh, jadi ini alasannya kenapa kemarin saya dapat musibah itu...".

"Untung saja dulu saya dapat musibah seperti itu, kalau tidak saya tidak akan menjadi seperti sekarang ini..."


Jadi pada intinya musibah adalah sebuah nikmat juga, andai kita tahu cara menyikapinya. Dan kebanyakan manusia tidak bisa menyikapinya, termasuk juga saya. Labih suka mengeluh dan berkesah. Padahal seringkali disebutkan bahwa musibah adalah salah satu cara Allah untuk menghapus dosa-dosa kita.

Karena sayangnya Allah kepada kita sehingga Dia lebih memilih membalas perbuatan dosa kita di dunia ini. Harapannya agar ketika di hari Penghitungan nanti kita akan bisa menghadap Dzat-Nya dengan tanpa membawa dosa.

Aamiin, Allahumma aamiin...

Karunia itu berbentuk musibah
Image: gorilla-ink.deviantart
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, March 12, 2014

Thursday, March 6, 2014

ujungkelingking - Berkorban Besar Untuk Hal yang Kecil


Beberapa hari yang lalu ada postingan di status facebook Mario Teguh, seperti ini:

Mengorbankan yang besar untuk hal yang kecil
Salah satu post di akun Mario Teguh


Saya tidak akan berbicara tentang sosok Mario Teguh-nya, dan tidak berminat juga untuk berdebat apakah statusnya tersebut benar-benar terjadi atau hanya rekayasa semata. Namun sepertinya ada satu pelajaran penting di sini.

Adakah di antara teman-teman yang bisa membantu saya untuk menemukan pelajaran penting tersebut?

Kira-kira apa ya?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, March 06, 2014

Saturday, February 22, 2014

ujungkelingking - Cara Mudah Berhusnudzan Kepada Allah


Bagi seorang fotografer, angle adalah sesuatu yang sangat penting. Sebuah momen yang bagus -meminjam istilahnya mas Rawins- tidak akan bisa bercerita banyak bila cara pengambilan sudut gambarnya salah. Obyek bidikan yang indah pun akan gagal terekspos jika kita salah mengambil sudut bidik. Akhirnya hasil jepretan kita hanya akan biasa-biasa saja. Tanpa greget, tanpa nilai yang mampu membedakannya dengan yang lain. 

Tapi... di sini saya tidak akan berbicara tentang fotografi atau teknik pengambilan gambar yang baik. Saya justru akan berbicara tentang musibah, bencana, kesialan, kegagalan, dan teman-temannya yang lain.


Musibah, kemurkaan Tuhan?


Sejak awal mengikuti perkembangan kondisi Kelud hingga sekarang, di media-media massa tidak pernah saya dengar menyebutkan bahwa bencana ini adalah rahmat dan bentuk kasih-sayang dari Allah. Yang ada adalah bahwa musibah ini merupakan peringatan dari-Nya. Atau yang agak ekstrem malah muncul pertanyaan retoris: Apakah Tuhan telah murka?

Seolah-olah mudah sekali kita menvonis Allah itu pemurka dan pemarah. Sedikit diberi musibah, menganggap Allah telah marah. Sedikit disentuh bencana, mengartikan bahwa Dia telah murka. Padahal kita tahu tidak ada sifat-Nya atau di antara asma'ul husna yang 99 itu menunjukkan bahwa Allah Maha Pemurka atau Maha Pemarah. Yang ada adalah ar-Rahmaan (Maha Pengasih), ar-Rahiim (Maha Penyayang), al-Muhaimin (Maha Memelihara), al-Mu'min (Maha Pemberi rasa aman), al-Wahhab (Maha Pemberi Karunia), al-Lathiif (Maha Lemah Lembut), dsb.

Ini berarti, setiap apapun yang terjadi pada diri kita bukan merupakan murka-Nya, tapi bisa jadi merupakan rahmat-Nya. Tujuannya jelas, agar kita semakin mendekatkan diri, ikhlas, dan tunduk kepada-Nya.

Pada khutbah Jum'at kemarin, sang Khatib mengatakan bahwa ada 2 cara Allah untuk menurunkan rahmat-Nya kepada manusia:

[Satu] Melalui nikmat yang dikaruniakan kepada kita

Namun, berdasarkan banyak contoh, cara ini seringkali tidak efektif untuk menyadarkan manusia akan eksistensi Tuhannya. Banyak cerita kehidupan yang memberikan fakta tentang ini. Betapa dulunya ketika miskin, tidak banyak bermaksiat kepada Allah. Namun ketika diberikan sedikit kekayaan, mulai berulah dan bertingkah.

[Dua] Rahmat Allah melalui musibah dan bencana

Cerita di sekitar kita juga banyak mengajarkan tentang hal ini. Bahwa kesukaran, kesusahan, kegagalan lebih banyak menyebabkan kita menyadari kelemahan diri. Sehingga akhirnya kita menyadari ada Dzat yang jauh lebih besar dan lebih berkuasa dari diri ini. Kita kemudian mulai mau bersujud, berdoa, menangis dan memohon.

Maka secara sederhana, sebuah musibah hakikatnya adalah rahmat Allah yang bungkusnya amat-sangat tidak enak. Tugas kita adalah membuka bungkus itu agar kita tahu rahmat apa yang telah disiapkan oleh-Nya.


Husnudzan adalah kuncinya


Menyadari (baca: meyakini) bahwa ada rahmat Allah yang tersembunyi di balik musibah menyebabkan kita senantiasa sabar dan tegar menghadapinya. Ada cara lebih mudah agar kita selalu berbaik sangka kepada Allah, yaitu dengan menemukan "kata kuncinya". Kata kunci ini pada setiap orang mungkin akan berbeda-beda. Tugas kita ketika ditimpa musibah adalah segera menemukan kata kunci tersebut.

Kata kunci saya sendiri adalah "Allah yang mengijinkan hal ini terjadi. Ada rahmat yang muncul setelah ini."

Ketika ditimpa suatu kemalangan, tanamkan kata kunci itu ke dalam hati agar tidak ada celah bagi setan untuk menanamkan su'udzan kepada Allah. Setelah itu ikuti dengan peningkatan trafik ibadah.

Dan saya doakan, pada setiap musibah yang kita alami, kita dapat menentukan angle yang tepat sehingga Anda dapat dengan mudah mendapatkan rahmat yang dijanjikan-Nya:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ

"... Sungguh, jika kamu bersyukur, pasti akan Aku tambah (nikmat-Ku) kepadamu..."
[Ibrahim: 7]

*diringkas dari khutbah Jum'at kemarin, 21 Pebruari 2014

Menentukan sudut gambar
Depan atau belakang: Tentukan angle yang tepat

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, February 22, 2014

Tuesday, February 18, 2014

ujungkelingking - Al-Qur'an Meramalkan Bencana, Mu'jizat Atau Kebetulan?


Semenjak Kelud meletus, beredar broadcast dan sms, entah darimana sumber awalnya yang mengatakan bahwa kejadian ini sudah diramalkan oleh Al-Qur'an.

Di sana disebutkan bahwa kejadian erupsi itu terjadi pada tanggal 13 Pebruari 2014, pukul 20.49 atau 20.50. Ini sesuai dengan apa yang tertulis di Al-Qur'an yang "menunjukkan" peristiwa tersebut. Ayat yang dimaksud adalah surah 13: 2 dan 22: 49-50, serta 20: 14.

Banyak orang yang percaya dengan "kebenaran" berita ini. Namun tidak sedikit pula yang meragukannya, termasuk mas Is di dalam salah satu postingannya.

Hal-hal seperti sudah berkali-kali muncul. Yang paling saya ingat adalah runtuhnya gedung kembar WTC yang dihubungkan dengan At-Taubah ayat 109-110 (9: 109-110, sebagian masuk dalam juz ke-11) hanya karena peristiwa ini terjadi pada 11 September 2001, dan tinggi gedung tersebut adalah 110 lantai (namun, karena lantai 13 tidak ada jadi sebenarnya gedung ini ada 109 lantai). Sedang angka 2001 dikatakan merujuk kepada jumlah huruf yang ada pada surah ini.


Menunjukkan keagungan Al-Qur'an atau hanya kebetulan yang dibuat-buat?


Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan oleh Allah untuk ditadabburi dan mengambil pelajaran dari sana. Sungguh amat dangkal isi kitab ini jika hanya membahas persoalan-persoalan sependek ini.

Inilah yang oleh orang Jawa dinamakan sebagai ilmu gathuk. Ilmu cocok-cocokan. Namanya mencocokkan, jelas hanya bisa dilakukan setelah peristiwa terjadi. Tidak mungkin sebelum kejadian kita sudah memiliki pemikiran tentang kejadian tersebut.

Kalau Anda ingat apa yang dilakukan Deddy Corbuzier yang katanya bisa memprediksi siapa pemenang dalam turnamen piala dunia kemarin, ini sama saja dengan hal itu. Deddy mengatakan bisa meramalkan siapa pemenangnya dengan cara menuliskannya pada kertas kosong dan disimpan dengan penjagaan ketat. Orang paling bodoh pun bisa bilang itu hanya akal-akalan sang master ilusi ini saja. Seharusnya, jika memang bisa memprediksikan, sebut saja nama tim-nya, lalu sama-sama kita buktikan tim tersebut akan menjadi pemenang atau tidak.

Lihat saja cara analisisnya. Kalau bukan nama dan ayat surah, ya jumlah huruf atau juz yang jadi "sasarannya". Tidak ada standar ukur yang pasti alias sak karepe atau sak cocoke. Disamping itu ayat yang dimaksud tidak menunjuk kejadian secara langsung alias hanya bersifat umum. Dan satu lagi, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara serampangan seperti itu, bukan saja tidak ada dalam syar'i, juga menuai ancaman yang amat besar.

Ibnu Katsir rahimahumullah mengatakan, "Menafsirkan Al-Qur'an dengan logika semata, hukumnya HARAM."

"Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka."
(Tirmidzi: 2951, beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan)


Bagaimana cara menafsirkan ayat Al-Qur'an yang benar?


Ibnu Katsir menjelaskan beberapa metode cara penafsiran yang terbaik yang dibenarkan oleh syar'i.

1. Al-Qur'an ditafsirkan dengan ayat Al-Qur'an yang lain.

Biasanya, ada ayat-ayat dari Kitabullah yang bersifat global atau umum. Jika ada ayat lain di dalam Al-Qur'an yang menjelaskannya, maka menafsirkannya dengan cara seperti ini dibenarkan.

Misalnya saja, ayat dari surah Al-Baqaraah ayat 155 yang potongan akhirnya berbunyi,

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

"... dan gembirakanlah orang-orang yang sabar."

Penafsiran tentang siapa orang yang sabar ini ada dijelaskan pada ayat selanjutnya,

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun."

2. Al-Qur'an ditafsirkan dengan hadits.

Jika tidak didapati ayat lain yang menjelaskan hal tersebut, maka Al-Qur'an ditafsirkan dengan hadits Nabi.

Contoh mengenai hal ini adalah -misalnya- perintah tentang mendirikan shalat. Nah, apa dan bagaimana serta kapan waktu-waktu untuk shalat ini, hadits Nabi yang menjelaskannya secara rinci.

3. Al-Qur'an ditafsirkan dengan pendapat shahabat.

Jika pada hadits-hadits Rasulullah tidak didapati penjelasannya, maka ayat Al-Qur'an ditafsirkan dengan perkataan/pendapat para shahabat. Karena mereka lebih paham maksud ayat karena mereka mengalaminya.

4. Al-Qur'an ditafsirkan dengan perkataan para tabi'in.

Jika pada pendapat shahabat juga tidak ditemukan, maka penafsiran dialihkan kepada perkataan para tabi'in seperti yang disebut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur'anu 'l-'Adhim 1: 5-16.


Maka jelas, penafsiran Al-Qur'an selain dari cara-cara tersebut di atas adalah bathil. Semoga kita semua dapat menghindarkan diri dari menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur'an secara serampangan. Jika harus menjelaskan suatu ayat, lebih aman bila kita merujuk kepada pendapat para ulama' besar tentang ayat tersebut.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, February 18, 2014

Thursday, February 13, 2014

ujungkelingking - Ketika Mobil "Menabrak" Shalat


Tentu ada-ada saja cara seseorang untuk meraih simpati orang lain. Sebanyak cara untuk membuat berita kontroversial.

Dalam rangka program "Bengkuluku Religius", Pemerintah Bengkulu menggelar sayembara berupa shalat berjama'ah berhadiah mobil, umrah dan haji.

"Semua agama akan mendapatkan perlakuan yang sama tidak saja Islam. Shalat berhadiah umrah, haji dan bonus mobil itu sebagai pilot project saja sebagai langkah permulaan," kata Wali Kota Bengkulu, Helmi Hasan saat ditemui di Masjid At Taqwa, Rabu (Tribunnews.com, 12/2/2014).

"Ini ide baru dan kreatif untuk memancing orang mau berjamaah di masjid. Saya kira ini bagus untuk memotivasi orang dalam beribadah," kata Sekretaris Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Nadjib Hamid, saat berbincang dengan wartawan, Kamis (Sindonews.com, 13/2/2014).

Pada laman yang sama disebutkan juga bahwa untuk mendapat hadiah tersebut, warga harus melakukan salat Dhuhur di masjid-masjid yang telah ditentukan, yakni sebanyak 42-52 kali berturut-turut. 

Shalat berhadiah mobil?


Adalah hal yang sangat menyesakkan dada ketika beribadah -bahkan itu ibadah yang paling penting- namun karena iming-iming materi.

Jelas bukan kapasitas saya untuk menilai hati dan niat masing-masing peserta jama'ah. Namun secara kasat mata kita bisa melihat bahwa pemberian hadiah yang seperti ini sudah menyimpang dari syari'at. Meski sempat dikatakan hanya sebagai "pemancing" saja, namun yang semacam ini cukup bisa mengotori niat seseorang. Niat shalat yang awalnya demi Allah, menjadi demi mobil.

Riya' atau (justru) syirik?


Riya' adalah beribadah dengan tujuan agar dilihat orang lain. Biasanya pelaku riya' tidak punya motif apa-apa selain "pengakuan" orang lain.

Akan tetapi syirik adalah perbuatan mempersekutukan Allah. Dia menciptakan kiblat (baca: tujuan) lain, selain Allah. Maka, jika kita beribadah BUKAN karena sebab Allah, maka hati-hati, jangan-jangan kita sudah terjerumus kepada dosa yang tidak berampun ini. Naudzubillahi min dzalik!

Syarat diterimanya ibadah


Merujuk pada Tafsir Ibnu Katsir, di antara syarat diterima sebuah amal ibadah ada 2 saja, yaitu: [1] Niat ikhlas karena Allah, dan; [2] Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam.

Dari definisi ini saja kita bisa menarik kesimpulan bahwa ibadah -segala ibadah- yang dilakukan dengan niat karena iming-iming materi tidak akan ada manfaatnya, selain neraka-Nya.

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ

أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. [15]

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." [16]
[Huud: 15-16]

Ayat yang senada dengan ini bisa dibaca di dalam surah Al-Israa' ayat 18.

Iming-iming Tuhan vs iming-iming manusia


Ada sebuah pertanyaan menggelitik, "Kenapa kita dilarang beribadah karena suatu iming-iming, bukankah Tuhan juga mengiming-imingi kita dengan surga?"

Dalam Islam, keberadaan surga hanyalah anugerah dari Allah, sebab TIDAK ADA seorang muslim-pun yang karena ketekunannya dalam beribadah sehingga otomatis memasukkan dirinya ke dalam surga.

Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam bersabda: "Tidak seorang pun di antara kalian yang akan diselamatkan oleh amal perbuatannya." Seorang lelaki bertanya: "Engkau pun tidak, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab: "Aku juga tidak, hanya saja Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. Akan tetapi tetaplah kalian berusaha berbuat dan berkata yang benar."

Maka seperti yang juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah bahwa ibadah dibangun di atas 2 hal; [1] Cinta dan, [2] Pengagungan.

Karena kedua hal inilah Allah subhanahu wa ta'ala menurunkan rahmatnya. Bukan karena banyaknya ibadah kita, akan tetapi karena cinta dan pengagungan kita kepada-Nya. Bukan karena terus-menerusnya ibadah yang menyebabkan ibadah kita diterima, akan tetapi karena niat dan kesungguhan mengharap keridhaannya.

Lalu, apakah ini berarti kita tidak boleh beribadah dengan mengharap surga?

Bagi sebagian orang, beribadah model seperti ini menunjukkan ketidak ikhlasan. Akan tetapi -sebenarnya- ini juga salah satu bentuk iman (baca: percaya). Kita percaya dengan janji-janji Allah, lalu dengan keyakinan itu kita kemudian berupaya untuk mendapatkannya dengan jalan melaksanakan ibadah yang diperintahkan-Nya.

Jadi, ingin beribadah karena janji Tuhan, atau iming-iming manusia masih terlalu menggiurkan?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, February 13, 2014

Friday, February 7, 2014

ujungkelingking - Rasulullah, Seorang Panutan dan Nasehat


Dari khutbah Jum'at tadi siang.

Bismillah...

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."
[Al-Ahzab: 21]

Uswah hasanah biasanya diterjemahkan sebagai contoh teladan atau panutan yang baik. Selain kata ini, kita juga punya istilah lain yang sering kita dengar yaitu mau'idha hasanah. Akan tetapi dari segi arti dan maksud, mau'idha hasanah berbeda dengan uswah hasanah.

Mau'idha hasanah lebih sering diartikan dengan nasehat yang baik. Namanya nasehat, tentu semua orang bisa memberi nasehat yang baik. Bahkan seorang maling jemuranpun bisa menasehati orang lain dengan nasehat yang baik. Hal ini jelas berbeda dengan uswah hasanah yang menyangkut perilaku atau kebiasaan. Maka Allah subhanahu wa ta'ala telah memerintahkan kita untuk meniru pola hidup, kebiasaan dan perilaku Rasulullah. Karena seperti perilaku beliau-lah seharusnya perilaku seorang muslim.

Bahkan dalam sebuah kesempatan, Rasulullah pernah bersabda,

"Sungguh tidaklah aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak."
[Diriwayatkan Ahmad, dalam Silsilah as-Shahiihah]

Ini menjadi catatan, karena meski hidup di lingkungan jahiliyah, Rasulullah tidak mengatakan akan menyempurnakan ilmu pengetahuan. Jelas, agama yang beliau bawa adalah agama akhlak.

Hal ini juga menjelaskan kenapa banyak orang-orang besar yang notabene berpendidikan dan berpengetahuan luas namun masih berperilaku jahil, terlibat ke dalam hal-hal kotor. Karena mereka hanya pintar namun minus akhlak.

Jika ditarik lebih ke dalam, kenapa banyak muslim yang mengerjakan shalat namun masih tetap menjalankan maksiat? Bukankah katanya shalat itu dapat mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar?

Jawabannya, karena meski kita shalat, kita tetap tidak berakhlak kepada Allah. Meski kita beribadah, namun hati kita tidak nyambung kepada Allah. Itulah kenapa shalat tidak tidak mampu berefek apa-apa pada perilaku dan kebiasaan kita.

Padahal jelas-jelas Allah telah merumuskan,

وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي

"... dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku."
[Thaahaa: 14]

Jika disambung dengan ayat yang lain,

أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

"... ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram."
[Ar-Ra'd: 28] 

Jadi inilah rumusnya: Shalat ---> ingat Allah ---> hati tenteram

Dan ketenteraman hati inilah yang menjadi kunci agar kita bisa melakoni kehidupan ini dengan tanpa gelap mata. Tenteramnya hati ini juga akan membuka pandangan kita agar tidak pernah berprasangka buruk kepada Allah subhanahu wa ta'ala.

Maka, meneladani perilaku Rasulullah bukan melulu urusan dhahir (nyata), namun juga sekaligus menata bathin (hati). 

***


Mohon maaf jika terlalu panjang.
Saya hanya menyampaikan. Anda sekalian hanya mendengarkan.
Tidak ada ketentuan bahwa yang menyampaikan itu lebih baik daripada yang mendengarkan.
Yang beruntung hanyalah mereka yang melaksanakan,
dan istiqamah dalam keimanan.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, February 07, 2014

Friday, January 17, 2014

ujungkelingking - Jangan Menjadi Kelompok Kelima


Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam pernah bersabda tentang 5 kelompok manusia yang kita diharapkan menjadi salah satu dari kelompok pertama, kedua, ketiga atau keempat. Namun jangan sampai kita menjadi bagian dari kelompok yang kelima.

Sabda Nabi, "Jadilah kalian [1] 'aaliman; [2] atau muta'alliman; [3] atau mustami'an; [4] atau muhibban; [5] dan jangan kalian menjadi (kelompok) yang kelima..." 
(Perawi tidak disebutkan)

Siapa sajakah kelompok-kelompok ini?

Kelompok pertama: 'Aaliman


'Aalimaan berarti orang yang berilmu, atau orang yang memiliki pemahaman. Ini tentu sejalan dengan ayat pertama yang diturunkan kepada umat muslimin yang merefleksikan bahwa seorang muslim haruslah menjadi seseorang yang terpelajar dan luas pemahamannya. Iqra'!

Namun, jika hal tersebut tidak dapat tercapai oleh kita, maka oleh Nabi kita diharapkan termasuk ke dalam kelompok kedua,

Kelompok kedua: Muta'alliman


Kelompok ini berarti mereka yang (mau) belajar. Mereka yang bersungguh-sungguh dalam usahanya menuntut ilmu. Jadi, jika kita tidak bisa menjadi orang yang berilmu, setidaknya kita menjadi orang yang serius dalam menuntut ilmu.

Kelompok ketiga: Mustami'an


Kalaupun kita gagal menjadi kelompok kedua, Nabi masih mengharapkan kita menjadi kelompok yang ketiga. Yaitu mereka yang mau mendengarkan nasehat kebaikan. Jangan pernah menolak nasehat dalam kebaikan, dari manapun datangnya, dari siapapun yang mengatakan.  Dengan itu mudah-mudahan kita semua tidak mendapat stempel sombong dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Kelompok keempat: Muhibban


Bila ternyata kita tidak bisa menjadi salah satu dari kelompok di atas, Nabi masih menyediakan satu tempat lagi. Muhibban adalah kelompok orang yang benar-benar mencintai kebaikan. Bila ada nasehat yang ditujukan kepada dirinya, meski belum bisa melaksanakannya, dia merasa senang dengan itu. Bila dia mendengar ada pengajian-pengajian atau majelis ilmu, meski mungkin tidak bisa datang, dia sudah merasa bersyukur. Bila ada orang yang melakukan kebaikan, meski dia belum mampu menirunya, dia senang melihatnya.

Jadi, jika ternyata kita tidak termasuk ke dalam ketiga kelompok yang disebut di awal, seenggak-enggaknya kita tidak menjadi orang yang antipati terhadap hal-hal yang baik.

Kelompok kelima


Kelompok terakhir inilah yang disebut Nabi sebagai kelompok yang celaka. Mereka adalah orang-orang yang tidak memilki pemahaman, namun tidak suka mencari ilmu, tidak suka pula mendengarkan nasehat, dan tidak senang dengan sesuatu yang baik. Jika bukan celaka namanya, apalagi?

Maka, sudah sepatutnya kita menata dan memperbaiki diri agar kita tidak termasuk ke dalam kelompok yang disebut terakhir ini. Na'udzubillahi min dzalik.


*diambil dari khutbah Jum'at, siang ini.  
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, January 17, 2014

Thursday, January 16, 2014

ujungkelingking - Mushalla & Toilet: Di sini


Sehubungan dengan pengelola gedung yang sedang membangun gedung baru, maka dengan terpaksa akses menuju masjid sebelah, ditutup. Dampaknya, sebagian besar tenant yang awalnya shalat di masjid sebelah beralih ke mushalla kecil bin iprit di lantai dua.

Anda bisa bayangkan sendiri, penghuni gedung 20 lantai -meski tidak semua- harus shalat di tempat yang sangat tidak cukup untuk menampung semua jama'ah itu. Jadilah kami shalat pakai kloter-kloteran. Satu shaft laki-laki hanya berisi 7 atau 8 orang saja. Sedangkan satu "kloter" bisa 3-4 shaft. Yang lain harus berkumpul di belakang menunggu giliran shalat. Alhasil yang kebetulan shalatnya lebih awal menjadi serba susah, karena jangankan untuk shalat sunnah ba'diyah, untuk berdzikir agak panjang aja sungkan sebab tempat musti gantian. Apalagi mereka yang kebetulan masbuq di kloter pertama. Belum selesai menyempurnakan kekurangan raka'at, calon kloter kedua sudah ber-iqamat. Buyar deh konsentrasi.

Lain di sini, lain pula di luar


Kalau kita tengok kondisi mushalla di pusat-pusat perbelanjaan atau tempat rekreasi, keadaannya jauh lebih mengenaskan lagi. Sudahlah sempit, terus cuma terletak di salah satu lantai saja, sudah gitu dekat toilet pula. #Sempurna

Malah kalau lihat papan petunjuknya lebih membuat miris: 

Sumber: notesfirmansyafei.blogspot

Ada lagi yang agak luas dikit. Tapi letaknya di lantai pualiiing atas, yang eskalatornya tidak pernah menyala. Gabung sama parkiran mobil. Tapi tentu yang ini masih lebih mending ketimbang yang deket toilet tadi, yang kebanyakan memang seperti itu.

Saya kemudian menjadi bertanya-tanya, kenapa fasilitas seperti mushalla ini terkesan "asal ada"?

Tentu saja dalam asumsi saya semua ini tidak lepas dari faktor pendapatan pengelola gedung. Daripada memperluas mushalla, jauh lebih menguntungkan menyewakan space yang kosong tadi untuk para tenant. Lagipula, dari sekian ribu pengunjung mall tersebut, berapa sih orang Islam yang shalat di sana? Toh, semuanya sibuk berbelanja.

Coba saja perhatikan kalau pas waktu shalat Dhuhur atau Ashar tiba, berapa orang yang datang untuk shalat. Bisa dihitung dengan jari. Anggap saja yang beragama Islam jumlahnya separuh dari pengunjung yang datang, lalu bila dibandingkan dengan mereka yang datang ke mushalla, ketemu berapa persen?

Jadi cukup masuk akal jika kemudian pengelola gedung/mall membuat tempat shalat yang seadanya. Sebab orang yang shalat di sana ternyata gak banyak-banyak amat.

*peace
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, January 16, 2014

Wednesday, January 15, 2014

ujungkelingking - Nasehat Untukku | Tentang Ibu


Masih ada hubungannya dengan maulid (kelahiran). Namun bukan maulid Nabi, akan tetapi maulid saya, h-hee...

Mungkin tidak semua dari kita akan menjadi orangtua. Namun yang pasti, setiap kita telah menjadi seorang anak, yang lahir dari rahim seorang ibu.

Dan kamu -suka atau tidak suka- adalah seorang anak, dari ibumu.

(+) Ini postingan tentang ibu, mas?

(-) Yup!

(+) Kok baru sekarang mostingnya? Telatttt... Kenapa gak tanggal 22 kemarin?

(-) Memangnya kenapa?

(+) Ya, gak kenapa-kenapa sih, biar pas aja momennya.

(-) Biar aja-lah, wong saya nulisnya bukan demi "Hari Ibu", kok.

Islam mengajarkan agar seorang anak -sepertimu- senantiasa berbuat baik kepada kedua orangtuanya, terutama ibu. Bahkan ketika sang orangtua dianggap gagal berlaku sebagaimana layaknya orangtua, kamu tetap harus berbakti kepada mereka.

Memang benar bahwa tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam hal menentang Allah, namun agamamu yang mulia ini telah memberikan adab-adab bagaimana bersikap (menolak) terhadap mereka, yaitu dengan lemah lembut dan ucapan yang santun.

Ketahuilah bahwa Al-Qur'an telah menggandengkan antara bertauhid dengan bakti kepada orangtua.


وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu [1] tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu [2] berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah!" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."
[Al-Israa': 23]

Dalam An-Nisaa': 36 juga tertulis, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak..."

Tentu mudah bagimu mengambil kesimpulannya. Bahwa berbakti kepada kedua orangtua adalah sebuah kewajiban -sebagai seorang anak dan juga sebagai seorang muslim- yang memiliki nilai pahala yang besar di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.

Dan karena kewajiban ini sangat tinggi keutamaannya, maka begitu juga sebaliknya, durhaka kepada kedua orangtua juga akan memiliki dampak dosa yang amat besar.

Dari Abu Bakar, Rasulullah pernah bertanya, "Maukah kalian aku tunjukkan dosa yang paling besar?" Para shahabat menjawab, "Tentu, ya Rasulullah." Nabi bersabda, "Berbuat syirik dan durhaka kepada kedua orangtua." [Bukhori]

Karena itu sungguh benar-benar bodoh-lah kamu yang masih memiliki kedua orangtua namun tidak mau berbakti kepada keduanya. Bagaimana Allah bisa ridha terhadapmu bila orangtua tidak ridha terhadapmu? Bukankah dulu kamu diajari bahwa keridhaan Allah bergantung kepada keridhaan orangtua dan kemarahan-Nya bergantung kepada kemarahan orangtua?

Lalu kamu begitu sombong dan merasa tinggi karena lebih paham teknologi terkini daripada mereka? Ingatlah dulu ketika kamu masih belum kenal a, b, c, d, mereka-lah yang lebih dahulu memperkenalkannya kepadamu. Lalu kamupun bisa membaca. Mereka mengajarimu nama-nama benda, lalu kamu mengerti. Mereka mentatihmu berjalan, agar kelak kamu bisa berdiri di atas kakimu sendiri.

Dan sekarang kamu begitu angkuh terhadap mereka! Kamu merasa mereka semakin membosankan. Memalukan untuk diperkenalkan kepada teman-teman. Kamu enggan bila mereka meminta tolong kepadamu untuk mengantar mereka ke suatu tempat. Kamu malas jika mereka bertamu ke rumahmu, berpikir mereka akan merepotkanmu. Kamu risih kalau harus berdekatan dengan mereka, mempersiapkan apa keperluan mereka.

Dia ibumu! Mereka orangtuamu!

Dari mereka-lah kamu hadir. Atas pengorbanan mereka-lah kamu bisa tumbuh seperti sekarang ini. Jangan sombong. Apalagi terhadap ibumu.

Duh, gusti Allah... ampunilah hambamu ini. Lunakkanlah hati ini. Lancarkanlah lidah ini untuk memohon maaf kepada mereka.


*Artikel ini hanya ditujukan hanya untuk diri saya sendiri, dan tidak sedang menasehati orang lain.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, January 15, 2014

Friday, December 27, 2013

ujungkelingking - Sebelumnya, saya ingin mengucapkan selamat untuk putrinya mas Agus Setya yang mulai menapaki langkah-langkah pertamanya. Semoga dik Hayyu dan orangtuanya senantiasa diberikan kesehatan dan kebaikan selalu.

Tak lupa pula buat rekan-rekan blogger, facebooker, tweps, plusser yang sudah kembali dari liburannya, selamat memulai aktifitas kembali. Dan buat yang masih libur, selamat menikmati liburannya. Mudah-mudahan kita semua tetap bisa saling berbagi kebaikan.

Aamiin.

***

Ketika kemarin saya memposting tulisan tentang alasan kenapa kita tidak boleh bersikap sombong, ternyata masih menyisakan sebuah pertanyaan penting. Ada satu poin yang luput saya masukkan ke dalam tulisan tersebut. Terima kasih atas komentar "iseng" mbak Nophi yang mengingatkan saya tentang hal ini. Sebuah pertanyaan yang bagi sebagian kta masih memiliki jawaban yang absurd.

Pertanyaan tentang apa sebenarnya definisi sombong itu?

Apakah orang yang suka memamerkan mobil atau pakaian barunya itu disebut sombong? Atau mereka yang suka nampang narsis di sosmed yang disebut sombong? Atau orang-orang yang ngomongnya muluk-muluk itu yang dinamakan sombong? Atau yang gemar sekali menceritakan kebaikan-kebaikan yang diterimanya barulah bisa didefinisikan sebagai orang yang sombong?

Bagi rekan-rekan yang pernah membaca buku atau pernah mengikuti kajian tentang tema ini tentulah sudah memiliki penjelasannya. Definisi yang simpel namun tepat. Namun itu nanti, sabar dulu ya!

(+) Kok pake nanti?

(-) Biar penasaran, h-hee. Bentar, saya mau cerita dulu...

Seperti kita tahu bahwa tokoh yang memiliki sifat sombong ini adalah Iblis laknatullah 'alaihi. Sebuah statement yang pernah diucapkan menjelaskan betul hal itu.

"Anaa khairu minhu. Khalaqtanii min naar wa khalaqtahu min thiin"

Shaad ayat 76. Aku lebih baik dari dia. Engkau, ya Allah menciptakan aku dari api sedangkan dia (Adam) Engkau ciptakan dari tanah.

Unsur api dikatakan lebih tinggi daripada unsur tanah. Karena itulah Iblis menolak ketika diperintah melakukan sujud-penghormatan kepada Adam. Inilah sikap sombong yang pertama kali ada dalam sejarah alam semesta.

Dan karena kesombongannya inilah, Iblis kemudian diusir dari surga. Karena itu, siapa yang mengikuti Iblis -dalam hal kesombongan- maka iapun akan mengikuti jejak Iblis.

Dalam kasus yang lain, seseorang pernah mengatakan bahwa setiap orang memiliki karakter dan pemikiran sendiri-sendiri. Maka seseorang tidak boleh mendiktekan pemikirannya dan meminta orang lain untuk sama dengannya. Karena ya itu tadi, pemikiran setiap orang berbeda-beda.

Dalam beberapa hal, cara berpikir tersebut bisa dibenarkan. Namun bagaimana jika yang didiktekan itu adalah sebuah nasehat? Apakah dengan alasan 'pemikiran orang berbeda-beda' lalu kita boleh menolaknya?

Hm, menarik mencermati tingkah orang di sekeliling kita. Semenarik ketika Islam mendefinisikan tentang apa itu kesombongan. Kata Rasulullah yang disebut sombong itu adalah: batharu 'l-haq wa ghamtu 'n-naas. Sombong itu adalah [1] menolak kebenaran, dan [2] meremehkan manusia.

Dalam kisah Iblis, dia sama sekali tidak menolak kebenaran (Iblis tahu bahwa Allah yang menciptakan dia, Allah pula yang menciptakan Adam), namun dia meremehkan Adam yang dianggapnya lebih hina darinya. Sementara kasus lain yang saya contohkan di atas bisa kita golongkan sombong dalam arti menolak kebenaran. Dan inilah yang tanpa sadar sering kita lakukan.

Bukankah sering kita abai terhadap nasehat gara-gara kita tidak suka dengan si penyampai-nya? Atau kita tak mengacuhkannya karena kita merasa nasehat tersebut tidak cocok dengan kita? Lalu bagaimana sikap kita jika kita dalam kondisi tersebut?

Menurut saya, terima saja dulu nasehat tersebut. Perkara kita kerjakan atau tidak, biarlah itu soal nanti.

*Pertanyaan lainnya yang mungkin juga mengusik, apakah artikel ini termasuk nasehat juga?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 27, 2013

Monday, December 23, 2013

ujungkelingking - Tujuan hidup seorang muslim adalah untuk beribadah kepada Allah, Rabb sekalian alam. Nah, dalam perjalanannya ternyata kita juga membutuhkan "modal" agar dapat bertahan hidup untuk menunjang ibadah kita tersebut. Modal inilah yang kemudian kita namakan rejeki. Kita -dalam konteksnya sebagai manusia- kemudian dipersilahkan mencari sebanyak-banyaknya rejeki yang Dia kucurkan.

Namun, dalam posisi sebagai seorang muslim, rejeki yang kita cari ini haruslah memenuhi beberapa kriteria ideal. Kriteria tersebut adalah halal, baik, banyak, dan berkah (halaalan-thayyiban-waasi'an-mubaarakah).

Kriteria Satu: Halal

Kriteria ini merupakan harga mati bagi seorang muslim. Rejeki yang dicarinya seharusnya terpenuhi unsur ini. Jangan sampai rejeki yang kita dapatkan -yang kemudian dimakan oleh anak-istri kita- tercampur dengan hal-hal yang haram karena pasti akan ada dampaknya terhadap kita. Dampak-dampak itu antara lain: tidak diterimanya amalan kita, menjadi sebab tidak terkabulnya do'a, merusak keimanan, mengeraskan hati dan tentu saja menjerumuskan kita kepada nerakanya Allah subhanahu wa ta'ala (soal dalilnya, googling aja ya? H-hee).

Kriteria Dua: Baik

"Baik" dalam pengertian saya adalah menyehatkan. Satu contoh soal makanan. Sekarang ini banyak sekali jenis makanan atau jajanan, yang secara "status" memang termasuk makanan yang boleh dikonsumsi (halal). Namun karena banyaknya kandungan kimia di dalamnya menyebabkan makanan tersebut justru mengundang penyakit. Di sini seorang muslim harus teliti. Rejeki yang halal saja tidak cukup, namun juga harus baik.

Kriteria Tiga: Banyak

Manusiawi memang. Allah sendiri sudah memberikan keleluasaan kepada kita untuk meminta kepada-Nya. Justru saya menganggap seseorang yang tidak pernah memohon sesuatu kepada Allah adalah seseorang yang sombong. Tapi, eh, bisa jadi dia orang yang sangat qana'ah juga sih, h-hii...

Kriteria Empat: Berkah

Saya pribadi mengartikan keberkahan ini sebagai kebermanfaatan. Bahwa rejeki yang kita terima lebih terasa manfaatnya. Atau istilahnya lebih 'tepat sasaran'. Barangkali kita sering mendapatkan rejeki (suatu barang, misalnya) lalu pada akhirnya barang tersebut hanya tergeletak saja di sudut rumah kita, tanpa pernah terjamah. Jadi terlihat kurang manfaatnya. Mungkin seperti itulah keberkahan itu (tapi sekali lagi, ini pendapat pribadi lho).

Lalu bagaimana agar kita bisa mendapatkan keempat kriteria di atas pada rejeki yang kita terima?

Ulama ahli tasawwuf, Abu Lais Samarqandi, merumuskan ada 2 hal yang harus dilakukan agar rejeki model ini bisa kita dapatkan:

  • Satu, jangan pernah menunda-nunda kewajiban kepada Allah

Klise, ya? Tapi seperti itulah. Ketika kita banyak memohon kepada Allah, maka sudah sepantasnyalah kita juga mengikuti aturan-aturan-Nya. Tapi tidak hanya itu, mendahulukan kepentingan-Nya di atas kepentingan kita sendiri menjadi sebuah keniscayaan.

Allah itu Maha Pemurah. Ketika Dia tahu (dan Dia memang Maha Tahu) bahwa kita senantiasa mendahulukan perintah-Nya dibandingkan dengan kebutuhan kita sendiri, maka berlakulah apa yang difirmankan-Nya, "Berdoalah, maka pasti akan Aku kabulkan!"

  • Dua, selalu ingat bahwa rejeki yang kita dapatkan tidak sepenuhnya milik kita

Senantiasa membuka mata dan telingan terhadap kondisi di sekeliling kita. Memperbanyak sedekah. Bukankah janji Allah bahwa balasan dari suatu sedekah itu akan dikalikan 10, 70, atau 700 kali?

Namun ada satu catatan di sini, bahwa di dalam kita bersedekah hendaknya cerdas dalam menentukan "target". Tidak membabi-buta dalam memberikan sedekah, sebab bisa jadi sedekah kita yang salah alamat itu merupakan proyek dari orang-orang non-Muslim yang bertujuan untuk menyerang kaum muslimin di bagian lain di dunia ini.

Kalau rekan-rekan pernah membaca tulisan saya yang berjudul Ini Tentang Pengemis yang (Tak) Layak Diberi, maka di sini rekan-rekan bisa mengambil jalan tengahnya. Ketika kita mendapati pada target sedekah kita ada tanda-tanda ketidaklayakan untuk diberi sedekah, maka kita bisa memilih untuk mengalihkan sedekah tersebut ke target yang lain. Namun bila tanda-tanda itu tidak nampak jelas, saya kira tidak perlu kita menduga-duga demi menghindari sikap su'udhan. Nah, "tanda-tanda" itu saya serahkan kepada masing-masing individu saja untuk menentukan kriteria-kriterianya.

(+) Berarti sampeyan ini plin-plan, mas.

(-) Plin-plan bagaimana?

(+) Katanya kalau sedekah ke pengemis gak usah pilih-pilih. Langsung kasih aja. Tapi sekarang kok bilangnya harus cerdas kalau bersedekah?

(-) Lho, dalam tulisan saya terdahulu kan mbahasnya tentang kalau kita bersedekah kepada pengemis. Bayangkan saja kakek/nenek yang sudah renta berdiri di pinggir jalan dengan pakaian lusuh. Nah, kalau tulisan yang ini membahas target secara umum. Kita bersedekah tidak hanya kepada pengemis saja kan? Bisa jadi ke kotak infaq masjid, panti asuhan, dsb. Atau ke orang-orang yang pakai mobil trus sambil baca shalawat, atau ada yang datang door to door sambil mengajukan map. Lahhh, yang model begini inilah yang menurut saya (menurut Khatib, ding!) kita harus cerdas peruntukannya benar atau tidak.

(+) Ooo, begitu...

(-) Ho'oh, begitu aja.

Mudah-mudahan kita semua dijauhkan dari segala macam sifat kikir ini, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Dan mudah-mudahan semua sedekah kita bisa bermanfaat bagi si penerima dan sekaligus menjadi amalan jaariyah bagi kita sendiri.
Dan semoga limpahan rejeki yang halal, baik, banyak dan berkah senantiasa mengucur kepada kita dan keluarga kita semua.

Aamiin, ya Rabba 'l-'aalamiin.


*Dari sebuah khutbah Jum'at, 20 Desember 2013
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 23, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!