ujungkelingking - Pemilu, Fenomena Golput dan Kriteria Pemimpin
Pemilu sudah di depan mata. Adalah menjadi tugas bagi setiap rakyat Indonesia yang sudah
memenuhi syarat untuk memilih calon yang akan mewakili aspirasi mereka.
Namun ibarat sebuah tradisi, dalam pemilu tahun ini pun akan diwarnai dengan sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih alias golput. Ketidak percayaan dan sikap apatis publik terhadap pemerintah, adalah salah satu dari sekian faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk golput.
Jika tidak memilih adalah hak, maka begitu pula ikut memilih. Lalu dari kedua hak ini, mana yang seharusnya dipilih?
Artikel ini akan mencoba memberikan beberapa alasan agar kita tidak golput dalam upaya memilih seorang pemimpin.
1. Memilih pemimpin adalah sebuah perintah
Dari shahabat Abi Said, Rasulullah bersabda, "Apabila kamu bepergian bertiga maka angkatlah salah seorang sebagai pemimpin."
[Riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa’i]
Hadits di atas berbicara atas sebuah kelompok kecil (3 orang). Bahkan tidak pula dijelaskan apakah "bepergian" yang dimaksud di sana adalah bepergian dengan tujuan yang penting, atau sekedar jalan-jalan biasa. Bahkan dalam lingkup rumah tangga -yang cuma 2 orang- ada satu orang yang difungsikan sebagai pemimpin di sana. Lalu bagaimana dengan skup makro bernama ne-ga-ra, yang jelas tujuannya adalah untuk menentukan nasib seluruh rakyat?
2. Golput juga memiliki konsekuensi
Jika kita memutuskan untuk golput, apakah pemilihan kemudian tidak jadi dilakukan?
Tentu
tidak. Pemilihan akan tetap dilakukan, meski kita golput. Dan akan ada
satu orang yang nanti terpilih untuk memimpin negeri ini. Dengan kata
lain, kita golput atau tidak, pemimpin terpilih akan tetap muncul. Malahan, jika kita tidak memilih, maka kartu suara yang sejatinya untuk kita akan digunakan oleh orang lain. Jadi dengan golput, berarti kita mempersilahkan orang lain untuk memakai jatah suara kita. Sungguh dermawan sekali...
Golput, pada dasarnya adalah sebuah bentuk ketidakpedulian. Tidak peduli pada siapapun yang nanti bakal memimpin. Tidak peduli pada apapun kebijakan yang akan lahir dari pemimpin yang terpilih.
Maka "pilihan" ini kemudian memiliki konsekuensi. Pada apapun yang kemudian terjadi -entah menguntungkan atau merugikan kita sebagai rakyat- kita tidak boleh peduli. Makanya ketika ada poster bertuliskan,
Jelas tak ada masalah buat saya. Akan tetapi kalau nanti ada kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan Anda, lalu Anda berunjuk rasa sampai bikin jalanan macet, itu baru masalah buat saya. ^_^
Sederhananya begini. Kalau kita tidak memilih si A, lalu kemudian si A gagal dalam kepemimpinannya, maka harusnya kita tidak perlu protes kepada si A. Kan kita tidak milih dia? Berbeda jika kita memilih si A, dan si A kemudian lalai, maka kita berhak untuk "menagih janji". Jadi jika kita memutuskan untuk golput, maka nanti kita tidak boleh protes, apapun yang terjadi. Begitu.
3. Memilih, dengan "asal pilih" tetap salah
Meski kemudian kita perlu untuk memilih pemimpin, namun bukan berarti kita boleh memilih dengan serampangan. Kita tetap harus memilih dengan hati-hati.
"Barangsiapa yang memilih seseorang sebagai pemimpin atas dasar
fanatisme, mengandalkan pada pertimbangan emosional, bukan rasionalitas dan penilaian yang jernih, padahal di tengah mereka
ada orang yang lebih layak dan pantas dipilih dan diridhai Allah, maka
orang itu telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum
muslimin."
[Hakim]
Logikanya, jika 'memilih tapi asal pilih' saja sudah salah, apalagi jika sama sekali tidak memilih?
4. Hanya pemimpin yang bisa mempersatukan
Masih sadar dengan "perdebatan" kita tiap tahun?
Setiap menjelang Ramadhan dan menjelang Hari Raya, kita selalu memperdebatkan perhitungan mana yang paling benar. Rukyah dan hisab selalu dibenturkan. Imbasnya, kaum muslimin terpecah. Padahal ada pemimpin di tengah-tengah kita.
Maka bayangkan bagaimana jika kita tanpa pemimpin?
5. Pemilu, haram?
Beberapa orang mengatakan mengikuti pemilu hukumnya haram. Kelompok ini
-biasanya- beralasan bahwa negara ini bukan negara Islam.
Pemimpin kita memimpin bukan berdasarkan hukum-hukum Islam. Sistem yang
kita anut adalah demokrasi, yang itu tidak ada di dalam Islam. Maka
mengikuti atau mendukung kepemimpinan seperti ini berarti juga haram.
Secara sederhananya, pemilu memiliki dua komposisi. Yaitu [a] Pencalonan diri oleh seseorang untuk diangkat menjadi pemimpin, dan [b] Pemberian suara oleh masyarakat untuk memilih pemimpin.
Bagi saya, jika pemilu disebut haram, maka barangkali pada poin [a]-lah keharaman itu terjadi. Karena ada hadits yang menyebut tentang orang-orang yang suka menjadi pemimpin padahal hal itu akan menjerumuskan mereka.
Jelasnya, urusan pemilu ini tidak bisa dipukul rata pada setiap keadaan dan setiap negara. Hukumnya bisa berbeda-beda tergantung situasi di mana pemilu itu diadakan. Akan tetapi sebagian ulama besar dalam fatwanya tidak (pernah) menyarankan seseorang untuk mencalonkan diri, namun memperbolehkan untuk memberikan suara dalam pemilu. Semua ini dengan mempertimbangkan mashlahat dan mudharatnya.
*Link-nya bisa dilihat di akhir postingan.
Namun jika memberikan suara dianggap mendukung sistem yang haram, maka setiap apa yang kita lakukan di Indonesia ini hukumnya akan menjadi haram. Kita membayar pajak, itu juga haram. Karena tujuan pajak adalah untuk
mendukung keberlangsungan negara ini. Kita bekerja juga haram. Karena
keuntungan perusahaan juga sebagian larinya ke pajak negara. Kita berada
di bawah instansi pemerintah, bekerja sebagai aparatur negara juga
haram. Dan bahkan mungkin kalau kita shalat di masjid yang dibangun
pemerintah juga haram.
Jadi, lahir di negara
yang bukan negara Islam, itu bukan salah kita. Namun jika kita tidak
mau ikut serta dalam perbaikan hajat hidup kaum muslimin lainnya, baru
itu yang salah.
Maka seperti yang saya tangkap dari beberapa narasumber (termasuk
blognya mas Muroi dan Kang Djangkies) bahwa golput memang bukan sebuah pilihan. Memilih pemimpin yang bermanfaat dan yang dapat mempersatukan umat harus diprioritaskan.
***
Memilih pemimpin, bagaimana panduannya?
Islam, melalui Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sudah banyak memberikan gambaran tentang hal ini.
Menurut Al-Qur'an, seorang pemimpin itu haruslah seorang mu'min, laki-laki, yang mampu menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan pribadinya dan kehidupan bernegaranya. Ia harus seorang yang adil, amanah, dan profesional. Seorang pemimpin juga seorang yang memiliki ilmu, baik ilmu agama atau pun ilmu pemerintahan. Dan yang jelas, dia harus memiliki ketegasan dalam beramar ma'ruf dan bernahi munkar sekaligus bersikap rendah hati terhadap rakyatnya.
Sementara jika meniru pribadi Nabi, kriteria seorang pemimpin itu ada empat: [1] Jujur (shiddiq), [2] Komunikatif (tabligh), [3] Profesional dan kredibel (amanah), dan [4] Cerdas dan visioner (fatonah)
Namun... bukan bermaksud pesimistis, kriteria ideal ini mungkin tidak akan kita temukan pada mereka-mereka yang mencalonkan diri. Lalu jika ini yang terjadi apa yang harus dilakukan?
- Jika tidak ada calon yang ideal, maka carilah di antara mereka yang paling banyak memiliki kriteria di atas.
Bagaimana jika semua calon sama-sama memiliki kriteria yang "standar"?
- Jika begitu maka cari saja calon yang jika terpilih, dia dapat memberikan lebih banyak dampak positif bagi umat muslim.
Bagaimana jika semua calon tampaknya tidak berdampak positif bagi umat?
- Maka, carilah yang dampak negatifnya paling kecil. Mudah-mudahan dengan itu kita sudah dianggap "gugur kewajiban" di dalam memilih seorang pemimpin.
***
Sebagai tulisan penutup, jika kemudian Al-Qur'an meng-klaim bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik dan begitu sebaliknya, maka hal yang sama juga berlaku dalam konteks kepemimpinan ini. Bahwa pemimpin yang baik untuk rakyat yang baik, dan begitu juga sebaliknya.
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
"Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang dhalim itu menjadi wali (wakil/pemimpin) bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan."
[Al-An'am: 129]
Jelasnya, pemimpin yang dhalim itu diberikan Allah untuk rakyat yang suka berbuat dhalim.
Maka solusinya, seperti yang dikatakan oleh Imam ar-Razi dalam kitabnya, "Jika rakyat ingin terbebas dari penguasa yang dhalim maka hendaklah mereka semua meninggalkan kedhaliman yang mereka lakukan."
(Kitab Tafsir at-Tahrir wa 't-Tanwir 8: 74)
Wallahu a'laam.
____________________
*http://muslim.or.id/manhaj/fatwa-ulama-memberikan-suara-dalam-pemilu.html