Monday, August 26, 2013

ujungkelingking - Berita memprihatinkan datang dari seorang kenalan. Ya, kenalan saya ini baru saja kehilangan uangnya karena penipuan di dunia maya. Meski jumlahnya "cuma" bilangan ratusan ribu, tapi yang namanya tertipu tetap saja gak enak.

Ceritanya, kenalan saya ini adalah seorang pedagang online. Pekerjaan itu sudah dilakoninya selama 5 tahun. Dan selama itu pula tidak pernah ada kejadian yang tidak mengenakkan, kecuali kejadian yang terakhir ini...

***

Awal mulanya, kenalan saya ini (sebut saja ibu A) tertarik dengan toko online di fesbuk yang menjual baju-baju impor. Karena model yang bagus dan harga yang miring, ibu A kemudian melakukan pemesanan beberapa potong baju. Pemesanan via inbox terjadi pada 26 Juli kemarin. Maaf, saya tidak bisa menampilkan screenshoot percakapan mereka, namun dari yang ditunjukkan kepada saya terlihat sekali jika toko online tersebut dikelola oleh orang yang profesional (bukan bermaksud sok tahu, tapi saya yakin rekan-rekan pun pasti tidak akan berpikir jika akun tersebut adalah akun penipu).

Setelah deal harga dan ongkos kirimnya, toko online tersebut lalu memberikan nomor rekening atas nama pribadi (sebut saja bapak B) untuk proses pembayaran, dan dengan tambahan meminta konfirmasi jika uang telah ditransfer. Ibu A melakukan pembayaran pada keesokan harinya (27/07/13). Dan setelah melakukan konfirmasi (berupa jumlah transfer dan atas nama rekening), toko online tersebut berjanji akan mengirimkan barangnya dalam 2-3 hari. Perhatikan, yang saya cetak tebal di atas adalah poin pentingnya.

Namun, hingga seminggu lebih barang tersebut tidak kunjung datang. Awalnya, ibu A mencoba memaklumi karena menjelang lebaran biasanya traffic sangat padat. Namun yang menjadi keganjilan kemudian adalah karena orderan lain yang dipesan ibu A dari tempat lain pada akhir Juli sudah sampai di rumah pada 2-3 Agustus. Akhirnya ibu A berinisiatif mengecek fesbuk toko tersebut untuk menanyakan pesanannya. Bisa ditebak, nama akun tersebut tidak lagi bisa di-klik, tapi masih tetap aktif jika ibu A masuk menggunakan nama akun lain. Dari sinilah ibu A baru menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban penipuan.

Barangkali menjadi pertanyaan dalam benak rekan-rekan sekalian, bukankah ada nomer rekening yang diberikan pelaku (atas nama bapak B)? Apakah bisa dilacak dari situ?

Jawaban atas pertanyaan ini yang saya dapatkan dari ibu A, ternyata antara pelaku (sebut saja C) dan bapak B tidak saling mengenal. Bapak B -menurut penelusuran ibu A- ternyata adalah juga seorang pebisnis online, secara spesifik beliau bergerak dalam bidang moneychanger, yang dalam sehari ada ratusan transaksi di sana.

Nah modusnya, setelah pelaku C mengetahui bahwa ibu A telah melakukan transfer ke rekening bapak B (dari konfirmasi yang dilakukan ibu A tentang jumlah transfer dan atas nama rekening), maka pelaku C kemudian berpura-pura sebagai ibu A dan menyatakan telah melakukan pembayaran ke bapak B. Sehingga otomatis kemudian terjadilah transaksi atas bapak B dan pelaku C. Dengan kata lain, ibu A yang membayar, pelaku C yang mendapat barangnya.

Atau modus lain yang pernah terjadi pada teman ibu A, pelaku C berpura-pura telah salah dalam melakukan transfer ke rekening bapak B dan meminta agar ditransfer ke rekening pelaku C.

Lebih jelas bisa dijelaskan dengan ilustrasi berikut:

Ilustrasi: dok. pribadi

Mengenai rekening bapak B (yang juga seorang penjual online), maka pastilah menyebutkan nomor rekening di situs miliknya. Dan yang "dicatut" si pelaku tentunya situs-situs yang memiliki ratusan transaksinya perharinya sehingga sukar dilacak.

Dari kejadian yang dialami oleh ibu A ini, maka penting bagi rekan-rekan yang akan bertransaksi online untuk lebih berhati-hati. Dan -seperti yang disarankan oleh ibu A- akan lebih aman untuk menggunakan jasa rekening bersama.

Semoga bermanfaat.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, August 26, 2013

Wednesday, August 21, 2013

ujungkelingking - Berhubung masih bau-bau Agustus-an jadi saya anggap masih relevanlah kalau saya memposting artikel ini. Seorang rekan Kompasianer mengingatkan saya akan kesalahan ini, yaitu penggunaan kata "dirgahayu" yang tidak tepat.

Pernah melihat spanduk besar-besar bertuliskan "Dirgahayu Republik Indonesia ke-68"?

Pastinya pernah. Sepintas memang tidak tampak ada yang aneh atau salah dalam tulisan tersebut. Namun jika mengacu definisi "dirgahayu" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.1, didapati arti sebagai berikut:
dir-ga-ha-yu a berumur panjang (biasanya ditujukan kpd negara atau organisasi yg sedang memperingati hari jadinya).

Sumber: dok. pribadi


Karena itu menjadi tidak tepat jika kalimat "Dirgahayu Republik Indonesia" disambung dengan "ke-68", karena artinya kurang lebih menjadi "Semoga panjang umur Republik Indonesia ke-68". Hm, gak nyambung ya?

Maka jika ingin menggunakan kata "dirgahayu", cukuplah kita menulisnya dengan "Dirgahayu Republik Indonesia", titik. Atau kalau mau menyebutkan "ke-68", kita sebaiknya memakai "Selamat HUT Republik Indonesia ke-68"

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, August 21, 2013
ujungkelingking - Sebagaimana tulisan pada artikel terdahulu, bahwa orang yang berhasil dengan puasanya, maka esensi pengajaran dari bulan Ramadhan akan tetap terbawa pada bulan-bulan selanjutnya.

Kalau pada bulan Ramadhan sholat malamnya, tadarusnya, dan sedekahnya tidak pernah ketinggalan, maka pada bulan-bulan selanjutnya amalan-amalan itu tidak berkurang dari kesehariannya. Kalau ketika puasa kita pandai menjaga ucapan dan mampu mengendalikan nafsu, pun begitu di bulan-bulan berikutnya.

Dalam sebuah pengajian singkat selepas Maghrib (ceritanya saya tulis di sini), disampaikan oleh sang penceramah  bahwa iman itu bisa naik dan bisa pula turun. Al-iimanu yaziiduu wa yanquusu, begitu bunyi haditsnya. Nah, hubungannya dengan paragraf pembuka saya di atas adalah bahwa cara mengukur tingkat keimanan kita adalah dengan melihat bagaimana gairah beribadah kita.

Ketika Ramadhan kita begitu bersemangat untuk beribadah, maka itu adalah tanda bahwa iman kita sedang dalam kondisi naik. Karena itu pertanyaannya, apakah setelah Ramadhan gairah-semangat untuk beribadah itu masih ada pada kita? Jika tidak, berhati-hatilah, karena itu tanda bahwa iman kita sedang merosot.

Lalu bagaimana cara agar iman kita tetap dalam kondisi naik?

Sebagaimana terlihat tandanya pada semangat ibadah kita, maka cara untuk menjaga tingkat keimanan kita adalah dengan tetap menjaga (semangat) beribadah kita. Terus kerjakan, terus pupuk semangat itu.

Lebih lanjut sang penceramah menjelaskan bahwa ketika kita terus memupuk semangat ibadah tersebut, maka pada akhirnya keimanan kita akan sampai pada suatu "tingkatan tertentu". Sang penceramah menyebutnya sebagai, tingkat kematangan iman.

Apa tandanya keimanan kita sudah sampai pada tingkatan tersebut?

Ketika iman itu sudah sampai pada tingkat ke-"matang"-annya, akan ditandai dengan 3 hal:

Pertama, dia menjadikan urusan Allah dan Rasul-Nya di atas urusan-urusan yang lain. Ketika iman sudah menunjukkan tanda ini, maka untuk urusan Allah dan Rasul-Nya dia selalu mendahulukannya daripada urusan-urusan lainnya. Bahkan sang penceramah menganalogikan seperti -maaf- orang yang kebelet buang hajat. Ketika seseorang itu sedang kebelet buang hajat, maka tidak peduli kapanpun dan dimanapun pasti dia akan mendahulukan itu daripada hal-hal yang lainnya.

Contoh paling dekat adalah ketika kita mendengar panggilan adzan. Karena kita tahu adzan (baca: sholat) adalah urusan terhadap Allah dan Rasul-Nya, maka bagi mereka yang sudah sampai pada tingkatan ini, sibuk atau tidak, urusan yang sedang dikerjakannya akan kalah oleh panggilan adzan. Panggilan Allah dan Rasul-Nya yang lebih utama.

Kedua, dia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri, karena Allah.

Ketiga, dia menjadi benci terhadap kekafiran seperti bencinya ia jika dimasukkan ke dalam api.

Dan pengajian ini pun akhirnya ditutup dengan ayat,


إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal,"
[Al-Anfaal: 2]

Jadi, teruslah mengaji dan mengkaji Al-Qur'an, membaca dan mempelajarinya, dan semoga kita termasuk seperti ayat di atas.

nb: ditulis dengan keterbatasan ilmu, mohon maaf bila ada yang kurang jelas.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, August 21, 2013

Tuesday, August 20, 2013

ujungkelingking - Kemarin, karena sekalian menyelesaikan pekerjaan kantor, akhirnya saya pun pulang terlambat. Hampir bisa dipastikan, jika saya pulang lebih dari jam setengah lima sore, saya akan mendapati adzan Maghrib sebelum saya sampai di rumah.

Dan memang benar, di tengah perjalanan terdengar adzan Maghrib berkumandang. Biasanya, kalau mendengar adzan seperti ini saya lebih memilih memacu motor lebih kencang agar saya lebih cepat sampai di rumah. Baru kemudian setelah mandi atau istirahat sejenak saya melaksanakan sholat Maghrib, terkadang bersama istri, terkadang pula sendirian.

Masjid pertama saya lewati begitu saja. Pun juga dengan masjid-masjid berikutnya, hingga tak terdengar lagi suara adzan. Namun pada masjid yang kesekian (males ngitung) saya berhenti dan tergerak untuk mengikuti sholat Maghrib di sana. Saya memang jarang sekali berhenti untuk sekedar sholat berjama'ah ketika di perjalanan seperti ini. Bahkan di masjid yang saya datangi kali ini, tercatat hanya sekali saja saya mampir. Itupun karena saya harus membatalkan puasa, pada Ramadhan kemarin.

Ketika saya tiba, tentu saja sholat sudah dimulai. Setelah memarkir motor dan mengambil wudhu, sayapun memasuki jama'ah ketika imam sudah duduk tasyahud awal. Telat 2 rakaat. Sayapun sholat. Dan -tentu- saya masih harus menambah kekurangan rakaat ketika sang imam sudah menyelesaikan sholatnya.

Setelah saya menyelesaikan sholat, sang imam sudah naik ke mimbar. Rupanya ada pengajian singkat. Agak segan juga saya untuk meninggalkan tempat. Pikir-pikir, tak apalah mengikuti pengajian ini, toh saya jarang sekali mendengarkan ceramah. Paling-paling seminggu sekali pas sholat Jum'at.

Yang menarik adalah materi yang disampaikan sang imam sama dengan apa yang pernah saya tulis pada artikel terdahulu, yaitu tentang menstabilkan ibadah kita agar jangan sampai turun selepas Ramadhan. Hanya saja, dalam pengajian kali ini ada tambahan yang disampaikan sang imam, yang akan saya coba sampaikan pada artikel selanjutnya.

Dan yang menarik berikutnya adalah bahwa ternyata pengajian seperti ini akan rutin diadakan setiap hari Senin ba'da Maghrib.

Hm, kesempatan saya untuk menimba ilmu.

Bismillah...
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, August 20, 2013

Monday, August 19, 2013

ujungkelingking - Berbeda dari postingan sebelumnya yang mendukung aksi turun ke jalan demi menyuarakan aspirasi masyarakat muslim dunia dan Indonesia atas kekejian yang terjadi di Mesir, tulisan berikut ini justru memberikan alasan kenapa kita harus menolak (baca: menahan diri) dari aksi-aksi demonstrasi yang kini marak di beberapa tempat.

Benar, kita tetap mengutuk pembantaian terhadap warga sipil yang tidak bersenjata, namun tulisan berikut ini mencoba memberikan pemahaman lain bahwa penolakan dan ketidak-setujuan kita tidaklah boleh disampaikan dengan aksi demonstrasi.

Artikel ini diambil dari nasihat Al-‘Allamah Shalih As-Suhaimi hafidzahullah pada majelis beliau di Masjid Nabawi -Madinah- yang ditulis oleh Abu AbdirRahman Usamah dan dialih-bahasakan oleh farouqihasbi.com.

Semoga berkenan!

***

Syaikhuna Al-’Allaamah DR. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi hafidzahullah berkata pada majelis beliau di Masjid Nabawi, Madinah, kota Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

"Terjadinya banyak pembunuhan termasuk tanda-tanda kiamat, apa yang terjadi saat ini secara khusus di negeri-negeri muslim dan di dunia internasional termasuk tanda-tanda kiamat, yaitu banyaknya pembunuhan yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam..."

Terkadang pembunuh tidak tahu kenapa ia harus membunuh, ia melihat manusia melakukan sesuatu maka ia pun ikut membidikkan senjatanya sebagaimana kondisi orang-orang dari suku terasing Arab yang selalu berteriak layaknya binatang dan saling membunuh antara satu dengan yang lainnya hanya demi revolusi pemberontakan, sepotong roti, rasa lapar atau karena membela seorang tokoh, padahal bisa jadi tokoh tersebut adalah seorang thagut.

Dan semua yang mati dianggap syahid meski seorang Yahudi, Nasrani atau musyrik penyembah kubur, semua syahid menurutnya, yaitu menurut seorang –yang sayang sekali ia dianggap ulama oleh media, yang umurnya sudah sangat tua- ia selalu berbicara ngawur bahwa (orang-orang yang terbunuh karena revolusi pemberontakan, sepotong roti, rasa lapar atau karena membela seorang tokoh) adalah syuhada, bahkan ia meminta untuk mendapatkan kesyahidan seperti mereka, dan ini –kita berlindung kepada Allah- adalah penyimpangan dan kesesatan.

Sayangi dirimu wahai akhi, sembahlah Robbmu, kembalilah kepada Allah ‘azza wa jalla, apalagi Anda sudah berumur 90 tahun lebih, meskipun semuanya pasti mati tanpa melihat usia tua atau muda. Akan tetapi engkau telah menghiasi kebatilan sehingga nampak sebagai kebenaran dan engkau melampaui batas dalam perkara ini, maka berhati-hatilah wahai ikhwan.

Berdoalah kepada Allah untuk negeri-negeri Islam yang tersebar padanya kekacauan-kekacauan ini, dan berdoalah kepada Allah agar melindungi negeri-negeri kaum muslimin dari berbagai malapetaka ini, dimana seorang pembunuh tidak tahu kenapa ia membunuh dan yang terbunuh juga tidak tahu kenapa ia dibunuh, akan tetapi ia akan berdiri di hadapan Allah ‘azza wa jalla sambil membawa kepalanya dengan kedua tangannya dan mengatakan kepada pembunuh, "Kenapa engkau membunuhku?"

Kemudian, kenapa engkau menambah kekacauan (demonstrasi) yang begitu banyak manusia telah terlibat ini, maka dimanakah agama, dimanakah Islam, dimanakah akalmu?!

Wahai akhi, tatkala Sumayyah terbunuh dengan cara yang keji, kaum muslimin tidak melakukan demonstrasi dan turun serta berteriak-teriak di jalan-jalan. Tatkala orang-orang Yahudi berusaha membunuh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, kaum muslimin tidak melakukan demontrasi, tetapi menegakkan jihad di jalan Allah dan mengeluarkan Yahudi dari Madinah dengan perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Permasalahannya, dengan demonstrasi ini, kalian memenuhi lapangan-lapangan dengan laki-laki dan wanita, dan terjadilah penindasan dan pelanggaran kehormatan, perzinahan, khamar, kurangnya rasa malu, nyanyian dan ikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan wanita, apakah ini dari agama Allah?! Demi Allah, sesungguhnya Barat telah menipu kalian wahai orang-orang yang telah mati hatinya, yang berteriak-teriak di lapagan-lapangan seperti keledai.

Bertakwalah kepada Allah, kembalilah ke rumah-rumah kalian -sampaikan kepada mereka risalah ini wahai hadirin, katakan kepada mereka- hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan kembali ke rumah-rumah mereka, dan tetap tinggal di rumah-rumah mereka, daripada berteriak-teriak di jalanan.

Bertakwalah kepada Allah di bumi kinanah, yang demi Allah bumi yang kami anggap mulia, akan tetapi banyak penduduknya yang tidak memuliakannya, andaikan mereka memuliakannya maka tentunya mereka tidak akan melakukan perbuatan ini. Aku mohon kepada Allah agar melindungi mereka dari kejelekan fitnah ini, dan agar mengembalikan mereka kepada kebenaran dan menjauhkan mereka dari para pembuat onar di antara mereka, yang selalu mengobarkan kekacauan yang berbahaya ini.

Saat ini Barat, yaitu Amerika dan selain mereka mengatakan bahwa, “Kami yang akan mendamaikan antara kelompok-kelompok Islam yang bertikai”. Maka kalianlah yang menyebabkan mereka berani memasuki negeri kalian. Ma sya Allah, sampai Yahudi penjajah Palestina pun berkata, “Kami akan masuk dan mendamaikan antara kelompok yang bertikai di negeri tersebut.”

Wahai manusia, kembalilah ke rumah-rumah kalian maka akan selesai masalah ini, dan bersabarlah menghadapi pemerintah kalian.

Benar, kami mengingkari kudeta militer yang mereka lakukan terhadap pemerintah sebelumnya, apa yang mereka lakukan adalah kebatilan. Akan tetapi setelah mereka berkuasa maka wajib bagi kita untuk diam, walaupun boleh kita menuntut dikembalikannya kekuasaan kepada yang berhak tetapi dengan cara yang syar’i, bukan dengan cara mengerahkan masa, membunuh dan menduduki berbagai fasilitas umum.

Adanya kelompok-kelompok yang berpecah ini sejatinya adalah kebatilan, semuanya adalah taklid kepada Yahudi dan Nasrani, meskipun mereka menamakan diri dengan kelompok Islam. Akan tetapi aku katakan, mereka tidak punya pilihan kecuali hendaklah mereka bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla. Kemudian, menurut prinsip kelompok mereka (yang membolehkan pemilu) –meskipun aku tidak percaya dengan pemilu- hendaklah mereka bersabar menunggu pemilu berikutnya, sehingga mereka bisa memilih pemimpin selainnya. Walaupun hakikatnya sistem pemilu ini adalah thagut, aku tidak mempercayainya (hanya demi memperkecil mudarat).

Akan tetapi wahai ikhwan, sampaikan kepada mereka (kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam di Mesir), hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dalam menjaga darah kaum muslimin, dalam melindungi negeri mereka yang terjajah, negeri kinanah.

Sampaikan kepada mereka risalah ini, kembalilah kepada akal sehat kalian, demi Allah tidak mungkin ada yang melakukan ini anak kecil, orang gila dan orang bodoh. Demonstrasi-demonstrasi ini adalah kerjaannya orang bodoh, orang gila dan tidak memiliki akal sama sekali, setiap mereka berteriak mendukung fulan, hidup fulan, jatuh fulan. Kita mohon kepada Allah ‘afiyah dan keselamatan.

Saudara-saudara kita yang menjauhi fitnah ini –segala puji hanya bagi Allah- mereka mengajak kepada agama Allah dan kepada sunnah, dan sampai hari ini mereka selamat dari ketergelinciran ke dalam fitnah ini dan selamat dari keterlibatan dalam membunuh kaum muslimin dan non muslim (yang belum pantas dibunuh.

Aku mohon kepada Allah Al-Karim untuk menganugerahkan kebaikan kepada seluruh negeri kaum muslimin, merahmati mereka dan menyatukan kalimat mereka di atas tauhid.

Kembalilah kepada Sunnah wahai penduduk kinanah (Mesir), kembalilah kepada tauhid, hancurkan kuburan yang disembah selain Allah, tinggalkan hizbiyah (fanatisme golongan) dan kelompok-kelompok sesat. Kembalilah kepada Rabb kalian, dan bersatulah dalam merealisasikan Laa ilaaha illallah dan Muhammadu 'r-Rasulullah.

Hendaklah kalian (hadirin) menyampaikan seruan ini meskipun hanya melalui sebagian website. Aku mohon kepada Allah agar menganugerahkan kebaikan bagi kaum muslimin di setiap tempat.■
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, August 19, 2013

Friday, August 16, 2013

ujungkelingking - Besok (17/8/13), bangsa ini kembali memperingati hari bersejarahnya. Hari yang begitu membanggakan dada ini. Hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Dimana-mana tempat, di jalan-jalan, di kampung-kampung banyak bertebaran umbul-umbul dan spanduk dengan dominasi warna merah dan putih. Warna keberanian dan kesucian.

Namun sadarkah kita, di tengah gegap gempitanya kita memperingati hari besar ini, mereka yang di sana -rakyat Mesir- tengah sibuk berjibaku melawan kekejaman rezim militer. Ribuan warga sipil tak bersenjata dibunuh, ditembaki, dibakar, dilindas tank. Masjid dibumihanguskan, mushaf-mushaf dihancurkan. Yang terjadi di sana bukan lagi kudeta politik, tapi sebuah kejahatan kemanusiaan!

Gambar: dari beberapa sumber
Dunia Barat mungkin diam, namun kita mengutuk!

Karena itu hari ini (16/8/13) ditetapkan sebagai hari kemurkaan umat Islam sedunia. Dan mereka hari ini -setelah sholat Jum'at- akan melakukan aksi damai #saveEgypt #pray4Egypt

Sementara di Indonesia sendiri, berikut sentra aksi hari ini:
  1. Jakarta, Istiqlal
  2. Bandung, PUSDAI
  3. DIY., DPRD DIY
  4. Solo, Sriwedari
  5. Majalengka, Bundaran Munjul
  6. Jambi, Tugu Juang
  7. Lampung, Masjid At-Takwa
  8. Semarang, Masjid Baiturrahman
  9. Surabaya, DPRD Surabaya
  10. Samarinda, MAF
  11. Aceh, Masjid Raya Baiturrahman
  12. Riau, Tugu Ikan Selais
  13. Purwokerto, Alun-Alun
  14. Pontianak, Univ. Tanjung Pura
  15. Batam, Simpang
  16. NTB, Arena Budaya Unram
  17. Palembang, Bundaran Air Mancur
  18. Banjarmasin, Masjid Raya Sabilal Muhtadin
  19. Pati, Masjid Agung Simpang 5
  20. Cirebon, Masjid At-Taqwa
  21. Medan, Masjid Agung
  22. Tegal, Masjid Agung Alun-Alun
  23. Makasar, flyover Km 4
  24. Tuban, Gedung Bea Cukai
  25. Balikpapan, Masjid At-Taqwa

"Tidak perlu menjadi warga Mesir untuk berempati, anda hanya perlu menjadi manusia."
(Erdogan, PM Turki)

"Wajib bagi yang telah menggulingkan Mursi untuk bertaubat dan mengembalikan hak-hak yang dirampas."
(Syaikh Dr Nasser bin Sulaiman, Sekjen Ikatan Ulama Muslim)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, August 16, 2013
ujungkelingking - Tepat 68 tahun yang lalu, sejarah mencatat, negeri ini memproklamirkan kemerdekaannya. Sebuah sejarah yang membanggakan... pada masanya.

Tanpa bermaksud melankolis, tapi sejarah hanyalah sejarah.

Sejarah hanya akan menjadi kenangan -tidak akan bisa berbicara banyak- bila ia hanya dibaca untuk disampaikan di depan kelas atau dihafal demi menjawab lembar-lembar soal ujian.

Sejarah banyak berkisah tentang hukum sebab-akibat, sunnatullah atau kausalitas. Sejarah banyak bercerita tentang proses: bahwa jika kita begini, maka hasil yang akan diperoleh adalah ini. Maka mempelajari sejarah bukanlah dengan tujuan pengetahuan semata. Lebih dari itu, ia membimbing kita untuk mensyukuri karunia-Nya yang kita menyebutnya dengan, pengalaman. Karena itulah sejarah menjadi nyata manfaatnya ketika ia "dihidupkan" kembali dalam kehidupan kita.

Menghidupkan sejarah tentu bukan berarti Bung Karno harus bangkit kembali dan membacakan teks proklamasi. Pun juga tidak berarti Bung Tomo musti tampil lagi demi membakar semangat arek-arek Suroboyo. Menghidupkan sejarah lebih memiliki arti menerapkan "pelajaran"-nya dalam kehidupan kita. Dari pelajaran itulah kita kemudian mensikapi diri.

***

Dahulu, rakyat Indonesia begitu "welcome" dengan Belanda. Masyarakat kita selalu menganggap baik apapun yang datang dari luar. Namun dari situlah Belanda tahu bahwa rakyat mudah dibohongi, yang dengan devide et impera-nya mereka mulai menjajah bangsa ini.

Bagaimana dengan sekarang?

Faktanya, sekarangpun masih tak jauh beda. Kita masih bersikap permisif terhadap segala yang berlabel asing atau -dalam kasus ini- yang berbau teknologi. Memang tidak semua yang dari luar negeri itu buruk, tidak selalu teknologi itu merusak. Namun ibarat mata uang, tidak seluruhnya juga bisa diterima; oleh adat ketimuran kita, atau oleh budaya reliji kita. Perlu adanya usaha untuk men-filter itu semua. Ini yang penting.

Mungkin bagi generasi yang ada sekarang, kita masih dapat membantu untuk memilah mana yang baik untuk diterima dan mana yang merusak untuk dibuang. Namun bagaimana dengan anak-anak kita, pengganti kita nantinya? Sedangkan kita saksikan sekarang, sebagai contoh, begitu mudahnya mereka mengakses internet dengan tanpa pengawasan. Banyak situs-situs berbahaya -yang merusak cara berpikir- yang mereka lahap dengan semangatnya, dan mereka beranggapan bahwa mereka sedang belajar?

Apa kita bisa menjamin bahwa anak-anak itu -dengan logika kanak-kanaknya- bisa menyaring hal-hal yang mereka temui disana, sedangkan kita yang diharapkan sebagai pengawas justru sibuk dengan urusan-urusan yang lain? Maka terjadilah penjajahan tak kasat mata. Penjajahan konsep pemikiran yang dampaknya jauh lebih luas dan jauh lebih panjang dari sekedar penjajahan fisik semata.

Dan pada akhirnya kita memang tidak harus menjadi paranoid untuk selalu berprasangka buruk terhadap apapun yang datang. Namun dengan mau melakukan "banding" pada sejarah-sejarah yang telah lalu kita bisa sedikit menjaga jarak untuk lebih dahulu menganalisa apakah hal tersebut berefek negatif atau tidak.

Dan sejarah, ternyata adalah karunia dari Tuhan yang paling dekat dengan kita untuk mengajari manusia bagaimana bertingkah-laku dalam kehidupannya.

Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
[An-Nahl: 16]
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, August 16, 2013

Wednesday, August 14, 2013

ujungkelingking - Alhamdulillah, akhirnya saya bisa kembali masuk kerja hari ini setelah mengambil cuti lebaran beberapa hari. Tidak ada acara "mudik ke desa" untuk tahun ini, lha wong baik saya maupun istri tidak punya desa, hehehe... Palingan cuma muter-muter ke sanak famili yang masih di seputar kabupaten saja.

Meski kantor tempat saya bekerja sudah mulai aktif per tanggal 12 Agustus kemarin, tapi dalam perjalanan berangkat tadi pagi tidak terlihat adanya kemacetan, padahal saya lewat jalan utama (biasanya saya harus lewat "jalan tikus" untuk menghindari macet). Ini berarti masih banyak perkantoran atau para pegawai yang masih menikmati sisa-sisa libur mereka.

Karena itulah -meski (sedikit) terlambat- saya pribadi mengucapkan:

"TAQABBALALLHU MINNA WA MINKUM"

Semoga semua amal ibadah kita selama bulan Ramadhan kemarin mendapat tempat di sisi-Nya. Aamiin.

***

Ada yang menarik ketika saya sedang menikmati liburan kemarin. Datangnya dari sebuah broadcast yang ditunjukkan seorang teman kepada saya. Isinya tentang pembagian Ramadhan dalam 10 hari. Mungkin ini termasuk broadcast lama, namun harus saya tulis di sini karena ada yang penting pada poin terakhirnya.

Nah, berikut pembagian bulan Ramadhan dalam 10 hari:


10 Hari I: Masjid penuh

Hal ini bisa dimaklumi, karena ibarat sebuah pertandingan maka 10 hari I di bulan Ramadhan adalah babak seleksi (penyisihan). Banyak kontenstan yang unjuk kebolehan. Semuanya bertanding dengan energi penuh. Karena itulah kita akan lihat penuh-sesaknya masjid-masjid untuk sholat tarawih, riuhnya musholla dengan lantunan ayat-ayat suci Kitabullah, dan ramainya orang-orang membagi-bagikan sedekah.

10 Hari II: Mall penuh

Saya tidak bisa mengatakan bahwa ini adalah sebuah gaya hedonism atau memang sebuah kebutuhan, atau malah hanya sekedar mengikuti tradisi semata. Dewasa ini, hal-hal semacam itu semakin samar batas-batasnya.

10 Hari III: Terminal-bandara penuh

Yang ini mungkin bisa dijawab sama yang punya desa. :)
Katanya, lebaran tanpa mudik bukanlah lebaran, hehehe...
Tapi, yang ingin saya sampaikan adalah poin yang terakhir ini,

10 Hari IV: Dosa-dosa (kembali) penuh

Di's wi aa. Naudzubillahi min dzalik. Inilah potret dari sebagian besar masyarakat kita (termasuk penulis sendiri, nih!). Berapa banyak dari kita yang setelah 'id justru kembali lagi kepada "kehidupan lama"?

Banyak dari kita yang ketika Ramadhan rajin sholat malam, namun setelah hari raya justru untuk sholat 5 waktu kembali bolong-bolong. Banyak pula yang bulan kemarin begitu gemar membaca Al-Qur'an, setelah hari ini malah mushaf itu akan dibiarkan kembali berdebu. Pun juga yang tadinya senang bersedekah, lalu kembali lagi sifat kikirnya. Yang sudah mampu mengendalikan ucapannya, akhirnya kembali disibukkan dengan menggunjing sesama. Naudzubillah.

Padahal kita tentu paham bahwa label "muttaquun" bukanlah gelar musiman yang disematkan Allah kepada seorang hamba hanya ketika bulan Ramadhan saja. Lebih dari itu, ia adalah sebuah refleksi dari sikap hidup yang akan terus mendarah-daging pada diri seorang muslim. Ketika ia sudah lepas dari bulan Ramadhan, maka pelajaran dan pengajaran yang didapatnya dari bulan tersebut tetap dibawanya hingga ke sebelas bulan berikutnya.

Maka yang bisa menjadi tolok ukur dari keberhasilan puasa yang kita lakukan kemarin adalah perubahan (baca: perbaikan) sikap hidup di dalam keseharian kita. Tentang hal ini, tentu masing-masing kita yang bisa menilainya.

Meningkatkan ibadah itu suatu keharusan. Akan tetapi jika hal itu masih terlalu sulit, setidaknya, kita tetap istiqomah menjaga apa yang sudah kita kerjakan pada bulan kemarin. Pertahankan, jangan kurangkan. In sya Allah itu menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya. Dan semoga Allah subhanahu wa ta'ala berkenan memberikan hidayah-Nya agar kita semua dapat sampai kepada tingkatan "muttaquun". Aamiin, ya rabbal 'alamiin...

Bismillah.



Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, August 14, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!