Tuesday, February 21, 2012

Google
ujungkelingking - Dalam kehidupan bersosial kita menyebut bila seseorang mengatakan hal yang tidak sebenarnya, maka kita menyebut dia seorang pembohong. Tapi bagaimana bila kita cuma tidak mengatakan yang sebenarnya. Disebut berbohongkah itu?

Mungkin lebih mudahnya dengan ilustrasi seperti ini,

Si Tono baru saja mengambil uang ibunya yang disimpan di dalam lemari baju. Menyadari uangnya hilang, si ibu langsung bertanya kepada Tono, "kamu mengambil uang ibu yang ada di lemari, No?" Si Tono menyahut, "tidak, bu!".

Tentu, kita sebut si Tono sedang berbohong karena jelas-jelas dia mengambil uang itu. Tapi coba bandingkan dengan -seandainya- jawaban Tono seperti berikut,

Menyadari uangnya hilang, si ibu langsung bertanya kepada Tono, "kamu mengambil uang ibu yang ada di lemari, No?" Si Tono menjawab, "saya sama sekali tidak masuk kamar ibu".

Tentu si ibu beranggapan bukan Tono yang mengambil uangnya. Lha masuk kamar saja tidak, apalagi sampai membuka lemari? Mungkin itu yang ada dalam pikiran si ibu. Padahal kenyataannya Tono menyuruh adiknya masuk kamar dan mengambil uang di dalam lemari.

Dalam konteks “saya tidak masuk kamar”, si Tono tentu tidak sedang berbohong karena –memang- kenyataan demikian. Dalam ilmu bahasa hal ini tidak salah. Tapi tentu menjadi tergesa-gesa bila menyimpulkan bukan Tono pelakunya karena jawaban Tono sama sekali tidak mengakomodir substansi pertanyaan.

Inilah yang kemudian saya takutkan digunakan oleh pejabat-pejabat yang tengah terjerat kasus korupsi. Bisa saja dia mengatakan –atau bersumpah- tidak pernah bertemu pejabat A, padahal mungkin saja pertemuan mereka lewat sms atau mesenger? Atau mereka keukeuh mengatakan bahwa tidak pernah menerima uang dari kurir B, padahal bisa saja “uang” yang dimaksud sudah dalam bentuk rumah mewah atau mobil sport mahhhal? (“h”nya sampe tiga lho!)

Mungkin ini menjadi tugas dari bapak-bapak jaksa penuntut agar memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tidak hanya mematikan jawaban tapi justru bisa menggiring terdakwa pada sebuah pengakuan.

Bismillah, 
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, February 21, 2012

Wednesday, February 15, 2012

ujungkelingking - Dari sebuah Khutbah Jum'at.

Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam pernah ditanya seseorang tentang puasanya. Kira-kira begini: "Ya Rasulullah, kenapa Anda berpuasa (di hari) Senin?". Jawaban Rasulullah adalah, "karena hari Senin adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari dimana Al-Qur'an diturunkan." 

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dan dari keterangan ini kita bisa menyimpulkan; 

Satu, bahwa memperingati hari kelahiran Nabi adalah sah-sah saja. Tentu ini dengan catatan bahwa memperingatinya bukan dengan acara-acara yang bertentangan dengan syar'i. Salah, kalau kita -dengan label- memperingati maulid Nabi tapi yang digelar justru acara dangdutan, goyang syahwat, dsb. Memperingati kelahiran Nabi tentu menjadi bernilai pahala bila diisi dengan ibadah untuk menghormati beliau. Malah yang mengadakan acara-acara gak bener di ataslah yang justru menghina dan melecehkan Rasulullah. 

Kedua, menjadi terlogikakan bahwa malam kelahiran Rasulullah (bukan malam peringatannya lho!) lebih mulia daripada malam Lailatul Qadr. Argumen ini didukung dengan dasar hadist Rasulullah di atas, bahwa dalam sastra Arab, kata yang disebut pertama menunjukkan lebih utama dan penting dari yang disebut selanjutnya. Dasar kedua adalah dalam Al-Qur'an tidak pernah dinyatakan bahwa malam Lailatul Qadr adalah malam yang paling utama. Surah Al-Qadr menyatakan bahwa malam turunnya Al-Qur'an itu adalah "lebih mulia dari seribu bulan". Yang ingin saya tekankan disini adalah tidak pernah disebutkan dalam Kitab bahwa malam tersebut adalah malam yang paling mulia, yang ada "hanya" lebih mulia dari seribu bulan. Karena itu tentu tidak benar bila dikatakan bahwa malam Lailatul Qadr itu lebih mulia daripada malam kelahiran Rasulullah.

Dasar selanjutnya mungkin logika yang sangat sederhana: bila malam kelahiran Muhammad shallallahu alaihi wa salaam tidak pernah ada, apa mungkin ada malam Lailatul Qadr? Dan jika untuk malam Lailatul Qadr saja kita rela beribadah mati-matian, lalu kenapa untuk malam Maulid Nabi tidak?

Dasar keempat adalah seperti yang tertuang dalam surah Yunus ayat ke 58:


قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah, "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan itu mereka bergembira". Karunia Allah dan rahmat-Nya adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

Ibnu Abbas radhiallahu anhu mengatakan bahwa yang disebut dengan "karunia Allah" itu adalah ilmuNya Allah, Yang Maha Luas, Maha Tak Terbatas. Sedangkan yang disebut dengan "rahmat Allah" adalah seperti yang dijelaskan dalam Al-Anbiya: 107,


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ 


"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, malainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."

Maka, bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad adalah dianjurkan dalam Islam. Tapi bergembira disini bukanlah bergembira yang menyalahi syari'at. Bergembira dengan semakin memperbanyak syukur dan ibadah kita, bergembira dengan menyemarakkan pengajian di masjid-masjid dan surau-surau. Dan untuk kemudian yang maha penting dari sekedar peringatan-peringatan tersebut adalah peneladanan diri terhadap sosok beliau, bukankah beliau diutus untuk menyempurnakan (baca: menjadi panutan) akhlaq kita?

Semoga.


nb: Sejarah Maulid Nabi dimulai di tahun 586 M, dimana saat itu pasukan Muslim tengah gencar-gencarnya diserang oleh pasukan Mongol (Jengis Khan), sumber lain menyebut pasukan Kristen Eropa. Karena itu para pimpinan pasukan Muslim bermusyawarah agar bagaimana semangat pasukan Muslim tetap terjaga untuk menghadapi serangan musuh. 

Maka digelarlah acara semacam pasar malam selama 7 hari 7 malam agar pasukan Muslim menjadi termotivasi dengan semangat perjuangan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya dahulu. Dan terbukti kemudian kemenangan diperoleh oleh pasukan kaum Muslimin.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, February 15, 2012

Monday, February 13, 2012

Ilustrasi: google
ujungkelingking - Hampir semingguan ini saya sama sekali tidak memposting tulisan baru. Yang saya lakukan hanya membaca-baca beberapa postingan yang saya anggap menarik, sambil berkomentar sedikit-sedikit.

Kalau ditanya, kenapa tidak ikut memposting tulisan? Macam-macamlah jawaban saya. Mulai dari pekerjaan yang menumpuk, tugas baru yang membutuhkan konsentrasi tinggi, atau bad mood yang memasuki level advance, sampai jawaban yang paling benar dan paling rasional: M.A.L.A.S. (Hahaha...) Wah, kalau sudah sampai pada titik ini biasanya seseorang akan berkata, "mau diapakan lagi, lha wong lagi malas", karena bagi kebanyakan orang, penyakit malas ini tidak ada "obat"nya.

Karena itulah, hari-hari terakhir kemarin saya gunakan untuk menganalisa, kira-kira apa benar malas itu tidak ada obatnya? Dan kalau ada, kira-kira apa obat yang paling cocok? Dan mulailah saya menginterogasi beberapa kenalan saya. Singkat cerita, jawaban paling banyak adalah, refreshing. Tapi...

Ada jawaban yang paling cocok menurut saya, dan ini saya dapatkan dari bapak saya sendiri lho (hohoho...). Begini, jika kita sedang malas melakukan sesuatu, maka obatnya adalah: mengerjakan sesuatu itu. Jangan yang lainnya. Sebab jika kita justru melakukan hal yang lainnya, maka sesungguhnya penyakit malas kita itu belum terobati.

Jika kita malas jalan-jalan, maka untuk mengatasinya adalah dengan berjalan-jalan. Bukan dengan tidur, misalnya. Sebab jika kita mengatasi "malas jalan" dengan "tidur", maka sesungguhnya penyakit "malas jalan" itu belum tersolusikan. (Wah dapat istilah baru, nih!. Tersolusikan!)

Jadi, sederhananya, jika Anda sedang malas menulis, maka menulislah. Jika Anda sedang malas mencari ide, searching-lah. Jika Anda sedang malas bekerja, maka bekerjalah. Dan malas Anda sudah tersolusikan.

Selamat pagi.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, February 13, 2012

Tuesday, February 7, 2012

ujungkelingking - Ctrl + Z atau undo adalah suatu istilah untuk membatalkan perintah yang baru saja dibuat -yang belum di save.

Sayangnya, menu ini cuma ada dalam program komputer. Tidak ada dalam dunia nyata. Dalam kehidupan riil kita, semua yang kita perbuat secara otomatis sudah ter-save, sehingga tak mungkin lagi bisa kita undo apalagi delete. Apa yang kita ucapkan, kita lakukan tidak akan bisa ditarik kembali.

Karena itulah diperlukan konsep "berpikir sebelum bertindak". Bukan bertindak sambil berpikir, apalagi bertindak sebelum berpikir!

Memang, banyak yang sudah paham dengan prinsip ini, banyak yang sudah sadar. Tapi apakah itu cukup? 

#Hm, kita bahas yang lain dulu…

Meminjam ungkapan seorang ulama' besar, Sayyid Quthb, beliau mengatakan bahwa "waktu" itu bukan bilangan waktu, akan tetapi bilangan kesadaran. Artinya, semakin matang (baca: tua!) kita, seharusnya semakin sadar kita akan intisari hidup.

Lantas, apa hubungannya antara berpikir sebelum bertindak dengan kesadaran? 

#Sebentar, saya mau minum dulu. Haus,

Ngomong-ngomong soal minum, anda tahu bahwa kebutuhan tubuh akan air adalah sekitar 2 liter perhari? Itu setara dengan kurang lebih delapan gelas untuk setiap harinya. Nah lho, apa hubungannya?

Begini, banyak orang "sadar" dengan teori 2 liter perhari tersebut, tapi berapa orang yang concern melaksanakannya?

Atau semua orang sadar bahwa menggunakan lajur untuk kendaraan lain berpotensi menimbulkan kemacetan yang lebih parah, tapi berapa banyak yang mengindahkannya?

Atau -kalau sok politis- semua orang paham bahwa korupsi, suap, dkk adalah budaya kotor yang akan menghancurkan sebuah bangsa, tapi lagi-lagi, berapa persen yang bisa menolak?

Karena itu sikap sadar saja ternyata belum cukup bagi kita. Hendaknya kemudian diikuti dengan tindakan yang –mau tidak mau- harus dimulai dengan proses berpikir benar. Mudah-mudahan dengan itu kita bisa tumbuh –sedikit demi sedikit- menjadi warga-warga yang membangun bangsa.

Semoga.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, February 07, 2012

Wednesday, February 1, 2012

ujungkelingking - Terkait dengan kejadian "Xenia Maut" (metro.vivanews.com) yang menewaskan 9 orang pejalan kaki di Tugu Tani, Jakarta Pusat, dalam sebuah acara diskusi yang ditayangkan di sebuah televisi swasta, Sudjiwo Tedjo, salah seorang pembicara dalam diskusi tersebut sempat mengatakan begini; "Kalau kita memberantas narkoba karena kebencian, maka kalau bukan anaknya pasti cucunya kena (narkoba, pen.). Karena karma itu ada.".

Tentu saja pendapat ini langsung disanggah oleh Ust. Guntur Bumi yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut. Dalam Islam, kita tidak mengenal karma. Allah subhanahu wa ta'ala menfirmankan bahwa Dia tidak akan mengubah nasib keadaan seseorang, jika orang tersebut tidak mau (berusaha) mengubah keadaan dirinya. Dalam hal ini, bagaimana mungkin jika kita melaksanakan nahi munkar -memberantas kejahatan lalu kemudian anak atau cucu kita bakal terkena kejahatan tersebut?

Dan jika karma itu memang ada, lalu dimana letak rahman rahiimnya Allah?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, February 01, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!