Wednesday, November 30, 2011

ujungkelingking - Sebuah petuah spiritual mengajarkan bahwa sebelum menjadi pembicara yang baik, jadilah pendengar yang baik. Dalam konteks tulis-menulis, barangkali ungkapan tersebut bisa sedikit “digeser” menjadi; sebelum menjadi penulis yang baik, jadilah pembaca yang baik. Karena tentu antara korelasi antara pendengar dengan pembaca yang baik.

Pendengar yang baik, bukanlah pendengar yang selalu meng-iyakan apa kata pembicara. Pendengar yang baik mampu menyaring inti dari apa yang disampaikan pembicara. Ia kemudian mengolahnya sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Jika buntu, pendengar yang baik akan mengajukan pertanyaan hingga tak menimbulkan salah tafsir. Jika dirasanya berbeda (baca: menyimpang) dari pemahaman dirinya, maka pendengar yang baik akan mengajak diskusi, bukan malah protes berlebihan.

Hal yang sama akan terjadi pada seorang pembaca yang baik. Pembaca yang baik bukan cuma bisa memberi vote aktual, menarik, dan sebagainya, tapi lebih kepada kemampuannya menangkap maksud tulisan, mengerti apa yang dimau-i penulis. Tapi tidak berhenti disitu, pembaca yang baik mampu memberi kritik inspiratif dengan bahasa yang sopan. Bukan meledak-ledak, apalagi meledek-ledek.

Barangkali terkait dengan hal itu Tuhan kemudian menganugerahi manusia dua buah telinga dan satu mulut, yang (mungkin) filosofinya adalah agar seorang manusia lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Adalah suatu hal yang naif bila kita cuma pandai bicara tanpa tahu bagaimana mendengar.

Sementara dalam kasus penulis-pembaca, Tuhan menciptakan manusia dengan dua buah mata –untuk membaca- dan (satu) tangan untuk menulis, yang (mungkin) filosofinya tak berbeda dengan kasus pembicara-pendengar.

Jadi, jika anda merasa menjadi seorang penulis yang baik, sudahkah anda menjadi pembaca yang baik?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, November 30, 2011
ujungkelingking - Terjemahan bebasnya barangkali, jangan menilai apapun hanya dari yang tampak di luar saja. Sebab kita bisa tertipu. Dan mungkin akan menuai malu.

Sore kemarin saya mengajak istri dan putra saya berjalan-jalan di sekitar komplek rumah dengan mengendarai motor butut kesayangan dan satu-satunya punya saya.

Sedang enak-enaknya berkendara, sebuah sedan yang berjalan di belakang kami tiba-tiba saja menekan klaksonnya. Kontan istri saya terkejut. Apalagi saya.

“Ini orang gak tahu diri!” pikir saya, “Mentang-mentang bermobil, trus seenaknya saja menggunakan jalan.”

Saya pun berhenti dan bersiap-siap memaki-maki orang tersebut dengan sumpah-serapah yang sudah tersusun rapi di otak saya.

Saat saya berhenti itulah, si sopir sedan melongok ke jendela sambil bilang,

“Mas, sandal anaknya terjatuh.”

Saya melongo. Sandal anak saya memang terjatuh.

Oalaaaaahhh….
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, November 30, 2011

Tuesday, November 29, 2011

ujungkelingking - Mengawali sebuah hari yang spesial, entah itu tahun baru atau tanggal kelahiran, setiap kita pasti memiliki harapan-harapan. Mungkin menjadi lebih sukses, menjadi lebih banyak rejekinya, atau harapan-harapan lain yang intinya adalah menjadikan diri kita berada pada level berikutnya yang lebih baik.

Dan untuk memenuhi harapan-harapan itu, kita umumnya kemudian menerapkan “aturan-aturan” -yang mungkin muluk-muluk- yang mengharuskan kita melakukan ini-tidak boleh melakukan itu. Aturan-aturan pendisiplinan diri, sebut saja begitu. Aturan-aturan tersebut bisa saja sangat berhasil. Tapi tahukah anda, aturan-aturan tersebut hanya akan menjadi sampul buku kosong atau -istilah yang lebih umum- hangat-hangat tahi ayam bila tidak dibarengi dengan aturan yang satu ini,

Konsistensi!

Ya, aturan yang muluk-muluk tanpa konsistensi hanya akan menjadi sampah di belakang. Dengan konsistensi akan membuktikan kita mampu menjadi pribadi yang lebih baik atau tidak.

Dan, jika anda membuat aturan-aturan yang cukup sederhana dan anda konsisten dengan aturan tersebut, maka anda sudah menjadi jauh lebih baik dengan itu.

Selamat pagi,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, November 29, 2011

Saturday, November 26, 2011

ujungkelingking - Pagi ini, saya berangkat kerja pada jam yang sama seperti hari-hari biasanya. Tapi di tengah jalan saya terjebak macet tidak seperti biasanya. Saya tidak bisa melihat di depan ada apa pastinya, tapi kalau tidak salah mungkin ada acara karnaval anak-anak TK daerah situ.

Tetap disitu, saya akan tetap terjebak macet. Akhirnya saya memilih jalan yang lain, memutar, dengan harapan saya bisa lolos dari kemacetan tersebut. Tapi dasar apes, di rute kedua itu saya malah terjebak kemacetan yang lebih parah dari jalan yang pertama. Alhasil, saya terlambat tiba di kantor.

Apa pilihan saya salah?

Bila langsung melihat hasilnya, tentu anda akan mengatakan saya tolol. Lha wong di rute kedua lebih macet kenapa milih jalan tersebut? Lebih baik kan tetap di rute pertama?

Hehe, sayangnya dalam hidup kita tak pernah bisa langsung tahu hasilnya sebelum dilakukan. Diprediksi mungkin bisa, tapi tak menjamin keakuratannya. Dalam kasus saya di atas, saya tidak menyesal dengan pilihan saya untuk melalui rute kedua. Karena pilihan saya yang salah berdasar pemikiran saya yang benar. Saya berpikir seperti ini;

  • Bila saya tetap berada di jalan pertama, sudah pasti saya akan terjebak macet. Mungkin 10 menit, atau bisa jadi lebih.
  • Bila saya mencoba alternatif lain, yaitu rute kedua, saya mungkin akan terjebak lebih parah lagi, tapi tentu ada kemungkinan sebaliknya. Mungkin saya bisa lolos dari kemacetan.
Ini yang saya sebut dengan "berpikir benar". Dan bagi saya, lebih baik memilih salah karena berpikir benar daripada pilihan benar karena berpikir salah
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, November 26, 2011

Thursday, November 24, 2011

ujungkelingking - Seorang ulama besar di jaman setelah jaman Rasulullah -maaf, saya lupa nama beliau- pernah suatu hari mendapat kabar bahwa pasar tempat beliau berdagang terbakar. Semua toko dan kios yang ada disana ludes dilalap si jago merah. Namun anehnya, hanya toko beliau yang selamat dari amukan api. Oleh seseorang hal ini disampaikan kepada beliau,

“Ya Syeikh, pasar anu telah terbakar. Namun untungnya toko anda sama sekali tidak terbakar!” Begitu kira-kira pesan yang disampaikan orang tersebut.

Mendengar itu sontak ulama ini mengucap, “Alhamdulillah…”

Namun setelah itu beliau langsung beristighfar karena disadarinya kekeliruan ucapannya.

***

Mendapat kabar gembira, sudah sewajarnya kita bersyukur (baca: mengucap hamdalah), tapi tentu akan menjadi salah tempat jika kegembiraan kita itu berdiri di atas kesusahan orang lain. Kesusahan dan kesulitan mungkin adalah sebuah ujian, tapi kegembiraan dan kekayaan belum tentu menjadi imbalan atas kebaikan yang pernah kita lakukan. Bisa jadi hal itu merupakan sebuah ujian juga.

Jadi, kegembiraan yang kita terima jangan menjadikan kita lupa diri dan menjadi manusia congkak. Maka penting untuk belajar dari do’a Nabi Sulaiman, “Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku…”

Note:

buat Mas Ibas, selamat atas pernikahan Mas dengan Mbak Aliya, mudah-mudahan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah,
buat Bpk. Presiden Indonesia, mudah-mudahan gempita acara tidak mampu mengalihkan perhatian bapak kepada masalah krusial bangsa ini, dan
buat rekan-rekan Kompasianers, selamat pagi.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, November 24, 2011

Tuesday, November 22, 2011

ujungkelingking - Melihat laga final Indonesia kontra Malaysia tadi malam, terus terang emosi saya naik-turun, campur aduk nggak karuan. Bagaimana tidak, ketika pertandingan belum dimulai, sebagian dari kita mungkin cemas, akankah kita bisa menaklukkan tim lawan? Dan kita sontak girang ketika pada menit-menit awal tim Garuda Muda sudah berhasil menjebol gawang Harimau Malaya. Tapi kemudian kita terpaksa khawatir ketika timnas Malaysia bisa membalas gol, sehingga kedudukan menjadi seimbang. Skor yang imbang –bahkan- hingga babak perpanjangan waktu berakhir, memaksa kita “gambling” melalui adu pinalti. Dan pada akhirnya kita terpaksa mengakui keunggulan timnas lawan dengan skor 5-4. 

What’s the point?

Bahwa timnas Indonesia masih kalah skill dan mental dari tim lawan? Mungkin.

Bahwa timnas Indonesia terlalu berambisi untuk merebut medali, sehingga memecahkan konsentrasi? Bisa jadi.

Bahwa timnas Indonesia terlalu terbebani dengan harapan-harapan publik bola di seantero nusantara? Bisa juga.

Tapi menurut saya yang pasti adalah karena kita melihat laga tadi malam adalah “nyawa” dari keseluruhan ajang ini. Maka ketika kita kalah tadi malam, itu berarti kita kalah dalam semua hal. Padahal penting untuk dicetak tebal, bahwa ajang Sea Games bukanlah ajang pertandingan bola semata. Banyak cabang-cabang lain yang dilombakan pada even dwi-tahunan ini. Kenapa kita harus terkonsentrasi “hanya” pada bola?

Kita semua tahu bahwa Indonesia menjadi juara umum dengan perolehan medali emas terbanyak. Kita patut bersyukur atas hal itu. Kita juga wajib berterima kasih kepada para atlet yang turut berjibaku mempersembahkan emas untuk Indonesia. Kita berterima kasih bukan karena “emas”nya, tapi karena peluh-keringat dan kerja-keras mereka. Sama seperti kepada timnas Garuda Muda, atau atlet-atlet lain yang gagal merebut medali, tak pantas kita mencerca mereka. Mereka sudah berjuang, itu sudah lebih dari cukup. Tuhan saja menilai kita karena usaha yang kita lakukan dan bukan hasil yang kita berikan.

Kita hanya kalah, bukan menyerah!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, November 22, 2011

Friday, November 11, 2011

ujungkelingking - Ternyata, Islam tidak disebarkan dengan kekerasan. Tidak seperti yang digembar-gemborkan kaum orientalis. Islam, oleh Rasulullah disebarkan (baca: diperkenalkan) dengan cara yang sopan dan diplomatik, melalui surat-surat yang dikirimkan beliau untuk pembesar-pembesar negeri.

Dalam surat-suratnya, Rasulullah selalu menyebut pemimpin-pemimpin itu dengan sebutan yang agung dan penuh penghormatan. Rasulullah menyebut dirinya sebagai utusan Allah untuk menyampaikan Islam. Rasulullah mengajak pemimpin-pemimpin tersebut untuk masuk Islam, yang kompensasinya adalah pahal yang besar. Tapi menolaknya bukan berarti perang. Menolak ajakan itu, Rasulullah hanya mengatakan akan mendapat dosa dan menanggung dosa rakyat yang dipimpinnya.

Perang hanya akan terjadi jika mereka memproklamirkannya terlebih dahulu.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, November 11, 2011
ujungkelingking -

Surat Rasulullah yang dikirimkan kepada Hiraklius,

"Bismillahirrahmanirrahim...

Surat ini dari Muhammad, Rasul Allah, kepada penguasa Bizantium (Heraklius). Kedamaian tercurah pada orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebab itu, sekarang saya mengajak Anda memeluk Islam. Memeluk Islamlah dan Anda menjadi selamat dari siksa Allah. Memeluk Islamlah dan Allah akan menganugerahi Anda pahala berlipat, akan tetapi kalau Anda menolak, maka Anda akan bertanggung jawab akan dosa orang-orang yang Anda pimpin.

...

Hai Ahli Kitab! Mari kita datang pada persamaan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah sesuatu selain Allah, dan kita tidak mempersekutukan Allah dengan apapun, juga kita tidak mengangkat di antara kita sebagai Tuhan selain Allah. Kemudian jika mereka berpaling, maka katakan, persaksikanlah bahwa kami adalah Muslim"

Surat Rasulullah yang dikirimkan kepada Raja Khosrau II (Penguasa Persia),

"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Dari Muhammad utusan Allah untuk Khosrau, penguasa Persia yang agung. Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk, beriman kepada Allah dan RasulNya, dan bagi orang yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, Esa, tidak ada sekutu bagiNya, dan bagi yang bersaksi bahwa Muhammad itu hambaNya dan utusanNya.

Aku mengajakmu kepada panggilan Allah. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah bagi seluruh manusia supaya aku memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir. Peluklah agama Islam maka kamu akan selamat. Jika kamu menolak maka kamu akan menanggung dosa orang-orang Majusi."

Surat Rasulullah yang dikirimkan kepada Al-Muqawwis (Penguasa Mesir),

 "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Dari Muhammad bin Abdullah utusan Allah, untuk Al-Muqawwis penguasa Mesir yang agung. Salam bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Selain daripada itu, aku mengajakmu kepada panggilan Allah. Peluklah agama Islam maka kamu akan selamat dan Allah akan memberikan bagimu pahala dua kali. Jika kamu berpaling maka kamu akan menanggung dosa penduduk Mesir."
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, November 11, 2011

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!