Friday, July 22, 2011

ujungkelingking - Pengalaman yang akan saya tulis ini adalah pengalaman pribadi saya. Atau lebih tepatnya pengalaman anak kami, Dhiya’ul Haq Zaki Ilyas, yang saat ini berusia 16 bulan. Anak kami yang pertama dan satu-satunya, setidaknya untuk saat ini, hehehe...

Dok. pribadi
Hari itu, Selasa 12 Juli 2011 saat saya sedang berada di tempat kerja, tiba-tiba istri saya menelpon dari rumah, mengabarkan kalau anak kami mengalami panas tinggi dan bahkan sempat terjadi kejang –yang istilah medisnya kejang demam atau stuip (jawa: step). Untuk tindakan darurat, segera saya meminta istri untuk membawanya ke puskesmas, karena letaknya tidak begitu jauh dari rumah. Saya pun meminta izin pulang hari itu.

Sesampainya di puskesmas, ternyata istri saya sudah pulang. Dokter hanya memberi obat dan tidak menyarankan opname. Dari keterangan istri saya –yang juga menjiplak keterangan dokter- anak kami memiliki toleransi yang rendah terhadap suhu tinggi. Jadi bila anak-anak lain dengan suhu di atas 40° C baru memiliki kemungkinan mengalami kejang, maka pada anak kami suhu tubuh di atas 38° C atau 39° C saja sudah mengalami kejang.

Tapi kelegaan saya tidak berlangsung lama. Karena pada malam harinya, suhu tubuh anak kami kembali tinggi. Bergantian kami mengompresnya, dan hal itu berlangsung semalaman!

Pagi harinya kami membawanya ke bidan di desa tetangga. Istri saya kalau sakit biasanya ke bidan ini. Jadi barangkali anak kami juga cocok. Tapi di sana bidan hanya memberi parasetamol dan antibiotik.

Sampai sore hari tidak ada tanda-tanda kalau suhunya meninggi. Tapi menginjak malam, suhu tubuhnya kembali tinggi.

Khawatir akan adanya kemungkinan gejala DBD, atau penyakit ganas lainnya, maka keesokannya kami membawanya ke rumah sakit. Disana dilakukan tes darah. Hasilnya, negatif. Anak kami secara teori, sehat.

Malam harinya, suhu tubuhnya tidak juga menurun, padahal obat dan kompres terus diberikan. Terus berlangsung sampai malam berikutnya. Mungkin di sinilah letak kesalahan kami sebagai orang tua. Tidak tanggap terhadap situasi yang terjadi. Kami semula mengira tingginya suhu tubuh anak kami karena giginya mau tumbuh. Setidaknya memang ada 6 bakal gigi yang terlihat akan tumbuh.

Jum’at, 15 Juli 2011. Suhu tubuh 40° C. Zaki kembali mengalami kejang.
Malam itu juga kami membawanya ke puskesmas. Perawat di sana menyarankan untuk dirawat inap mengingat panasnya yang terlalu tinggi dan membutuhkan bantuan infus untuk suplai cairan. Beberapa hari ini memang Zaki susah makan, mungkin gara-gara sakitnya.

Pagi harinya, saat diperiksa dokter barulah ketahuan apa yang menyebabkan suhu tubuh anak kami sangat tinggi. Zaki terkena campak (jawa: gabag), disebabkan virus morbili yang penyebarannya lewat udara, sehingga mudah sekali menular. Apalagi secara kebetulan anak tetangga kami sudah terkena virus ini dan sudah opname di rumah sakit selama sepekan.

Dari informasi yang saya dapat dari beberapa kali jalan-jalan di search engine, sebenarnya tidak ada obat untuk penyakit ini. Penyakit ini akan hilang setelah semua prosesnya terlewati. Yaitu dimulai dari suhu tubuh yang meninggi, lalu keluar bercak-bercak merah di tubuh –biasanya dimulai dari punggung dan belakang telinga, lalu bercak-bercak merah itu akan menyebar keseluruh permukaan tubuh diikuti radang selaput mata, batuk dan diare, lalu bercak-bercak merah mengering untuk kemudian berangsur menghilang dan panas tubuh pun turun. Seluruh proses ini biasanya berlangsung sekitar 7-10 hari. Itulah kenapa dokter cuma memberikan obat penurun panas dan antibiotik saja.

Sampai hari kedua di puskesmas, keadaan anak kami tidak juga membaik. Untuk makan begitu susah, minum obat tambah susah. Hanya infus dan ASI saja yang menopang dirinya.

Tapi alhamdulillah, menginjak hari yang keempat keadaanya mulai membaik. Sudah mau duduk sendiri atau pun berdiri, meski makannya juga masih susah. Kami pun optimis kalau besok Zaki sudah diizinkan untuk pulang, apalagi hasil pemeriksaan dokter tadi pagi menyebutkan kalau keadaannya sudah bagus, hanya tinggal menunggu BAB-nya yang masih cair.

Malam harinya, terjadi sedikit insiden. Infus yang ada pada anak kami, macet. Oleh perawat diperiksa, dan mereka mengatakan kalau infus dan intravena setidaknya 4 hari harus diganti. Artinya, infus yang lama harus dilepas dan dipasang infus lagi yang baru. Padahal, waktu dipasang pertama, saya benar-benar tidak tega melihatnya. Lha ini mau ditusuk-tusuk lagi. Apalagi kata istri saya perawat yang sekarang ini orangnya “kurang pinter” dalam memasang jarum infus (pengalaman waktu Zaki opname dulu). Tapi okelah dicoba dulu...

Apa yang saya takutkan terjadi. Cukup lama perawat ini mencari-cari pembuluh darah anak saya. Mungkin bawaan ibunya kali ya? Sebab istri saya dulu juga mengalami hal yang sama sewaktu melahirkan Zaki.

Akhirnya perawat itu mulai menusukkan jarumnya. Tapi rupanya “salah sasaran”, terbukti tidak ada darah yang keluar. Perawat itu kemudian berinisiatif menarik sedikit jarumnya, untuk ditusukkan lagi. Masih tidak ada darah yang keluar. Tidak terlukiskan perasaan saya waktu itu. Antara cemas, bimbang dan marah. Perawat itu lalu mencoba untuk yang ketiga kalinya. Dan karena masih gagal juga akhirnya saya memutuskan untuk tidak memakai infus. Saya sendiri tidak tahu apakah ini keputusan yang benar atau justru keputusan yang ceroboh. Saya katakan kepada perawat itu agar tidak usah lagi dipasang infus, toh besok pagi rencananya sudah boleh rawat jalan. Perawat itu kemudian bertanya kepada saya, berapa kali BAB-nya. Saya jawab “cuma” 4 kali.

Hehe, ini yang menarik. Saya ingin sedikit membahas tentang fungsi kata “cuma”. Kata ini ternyata bisa dipakai untuk menyedikit-kan jumlah, walaupun sebenarnya sama. Perawat yang sebelumnya bertanya, dengan pertanyaan yang sama. Ketika istri saya menjawab “sudah” 4 kali, maka si perawat langsung memutuskan harus tetap di-infus! Tetapi ketika pada perawat yang lain –dengan pertanyaan yang sama- saya menjawabnya “cuma” 4 kali, dia merespon lain. Perawat itu menjawab boleh, dengan catatan tidak BAB lagi sampai besok pagi.

Akhirnya, dengan izin Allah. Anak saya diperbolehkan pulang esok harinya.

Pengalaman ini benar-benar menjadi pelajaran yang berharga buat kami. Sekarang, kami –orang tuanya- punya tugas berat untuk lebih menjaganya.

Bismillah.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, July 22, 2011
Categories:

0 comments:

Post a Comment

Komentar Anda tidak dimoderasi.
Namun, Admin berhak menghapus komentar yang dianggap tidak etis.

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!